Lima Hutan Rakyat Terima Sertifikat Legalitas Kayu

LAMPUNG TENGAH, KOMPAS.com — Lima kelompok usaha kelola hutan masyarakat mendapat sertifikat legalitas kayu. Kelima kelompok tersebut adalah Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta (Pekandangan-Lampung Tengah), Koperasi Wana Manunggal Lestari (Gunung Kidul-DIY), Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo (Wonosobo-Jawa Tengah), Gapoktanhut Jati Mustika (Blora-Jawa Tengah), dan Koperasi Hutan Jaya Lestari (Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara).

“Keberhasilan lima kelompok usaha masyarakat ini merupakan bukti bahwa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dapat diterapkan sebagai penjaminan yang kredibel bagi usaha ekonomi skala kecil dan menengah perkayuan yang dikelola masyarakat secara berkelompok atau group certification. Pembiayaannya pun menjadi lebih terjangkau,” ujar Diah Raharjo, Direktur Program Multistakeholder Forestry Program, dalam pernyataan yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2011). Diah menambahkan, sertifikasi ini otomatis akan memperkuat manajemen pengelolaan hutan skala masyarakat, baik yang didukung oleh LSM pendamping maupun pemerintah daerah.

Pada saat yang sama, Menteri Kehutanan meluncurkan logo kayu legal yang dinamai tanda V-Legal. MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, mengatakan, dengan adanya logo ini, legalitas pemanfaatan kayu asal hutan Indonesia pasti terjamin sehingga mendukung pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Setiap logo disertai nomor kode verifikasi sehingga kayu atau produk kayu dapat ditelusuri balik asal muasalnya, baik dari areal hutan maupun lahan milik yang sah ataupun yang dikelola secara lestari,” imbuh Sembiring.

Dengan penyerahan lima sertifikat bagi kelompok usaha hutan rakyat, saat ini sudah ada 59 sertifikat untuk pengelolaan hutan dan 136 sertifikat untuk industri kayu. Total luas hutan kelola masyarakat yang mendapat sertifikat adalah 3.100 hektar, tersebar di 41 desa di Indonesia, dan berdampak langsung pada 6.024 anggota kelompoknya. Harapan ke depan, penerapan SVLK di hutan masyarakat dapat memaksimalkan manfaat pengelolaan hutan melalui skema REDD+



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter