Kesepakatan Iklim Paris dan Indonesia

Konteks: Pilar Dasar Kesepakatan Paris

Sejak perundingan iklim tahun 2007 di Bali hingg Paris Agreement 2015, kecenderungan untuk menekankan tanggung jawab bersama semua pihak terus menguat. Isu “kondisi nasional (national circumstances)” berdasarkan kapasitas masing-masing cenderung dominan dan menjadi instrumen teknikal yang mengurangi perdebatan isu tanggung jawab historis, atau common but differentiated responsibility. Implikasinya: (1) Beban tanggung jawab menghadapi perubahan iklim sama untuk semua negara: NAMAs hingga INDCs dan NDC, (2) Isu-isu teknis seperti accounting emisi, review lima tahunan, dll ditetapkan sama untuk semua negara, dan (3) Isu-isu tanggung jawab historis seperti pendanaan, kapasitas dan teknologi jadi klausula tambahan dan tidak lagi “memaksa” tetapi dikembalikan ke kapasitas nasional masing-masing.

2° C dan Komitmen 29 %

Untuk mencapai komitmen Paris, Indonesia harus bekerja keras. Dalam INDC yang kemudian diperkuat dalam NDC, Indonesia mencantumkan komitmen pengurangan emisi 29 % pada 2030. Saat ini sumber emisi utama Indonesia adalah lahan dan ke depan adalah energi, terutama jika sawit diperhitungkan sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Skenario pengurangannya adalah sebagaimana tergambar dalam diagram berikut ini.

Screen Shot 2017-09-21 at 12.45.43

Saat ini Pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut berkeingingan untuk merestorasi 2 juta hektar lahan gambut yang telah rusak. Upaya ini diharapkan turut berkontribusi untuk mencapai target 29 % pada 2030. Namun pada saat yang sama, pada 2014 dan diproyeksikan terjadi hingga 2020 target perluasan lahan untuk meningkatkan produktivitas bebeberapa komoditas juga terus meluas. Kakao misalnya, mencatat proyeksi peningkatan luas lahan 4 % per tahun. Sawit seperti sudah bisa diduga menunjukan rekor fenomenal, rata-rata 5.46 % peningkatan laju penambahan lahan tiap tahun atau 250.000 – 500.000 ha/tahun. Rata-rata ini nampak dalam akumulasi lahan pada 2014 yang tercatat mencapai 10.3 juta ha dari luas 8.4 juta ha pada 2010.

Trajektori ini jika tidak dibatasi, nampaknya sulit untuk menjadi pegangan dalam mencapai target pengurangan emisi pada 2030.

Pada 2012, laporan Indonesia ke UNFCCC mencatat luas tutupan hutan Indonesia sebesar 78.1 juta ha. Laju deforestasi yang disepakati dengan menggunakan baseline 1990 adalah sebesar rata-rata 0.9jt ha/tahun. Laju ini bisa jadi meningkat dalam beberapa tahun ini karena masih terdapat sejumlah usulan yang potensial mengurangi luasan tutupan hutan alam, di antaranya:

  • Dari 15.2 juta ha usulan yang dialokasikan untuk HPK, 7.24 juta ha di antaranya masih berupa hutan alam
  • 7.48 juta wilayah berhutan terletak di APL

Sehingga  berdasarkan usulan HPK dan APL maka total hutan alam yang potensial akan dikonversi : 14.72 jt ha.

Untuk melihat bagaimana kita bergerak menuju komitmen baru pada 2030 maka perlu dilihat kembali sejauh mana target kita dalam komitmen yang masih berlangsung saat ini. Pada 2009, kita sudah menyampaikan komitmen pengurangan emisi 26 % pada 2020. Pada 2014 Kementerian Kehutanan atau saat ini KLHK, mengklaim Indonesia sudah mencapai komitmen tersebut lebih dari separuh yakni 15.5 %. Tinggal 10.5 % lagi komitmen tersebut akan terwujud pada 2020. Statistik ini tentu melegakan jika benar demikian. Namun rasanya perlu untuk mengungkapkan pula secara jujur setumpuk ganjalan. Pertama-tama, siapa yang memverifikasi bahwa kita telah mendapatkan angka 15.5 % tersebut. Kedua, bagaimana menjawab keraguan sains dan metodologi yang berangkat dari  fakta bahwa hanya untuk sektor perkebunan saja, sejak 2010 kita kehilangan hutan alam sebesar 2 juta hektar. Ini belum menghitung sektor lainnya. Menurut laporan Bank Dunia, emisi harian dari kebakaran hutan Indonesia pada bulan Oktober 2015 melampaui emisi harian dari seluruh sektor ekonomi Amerika.

Upaya Saat ini

Melalui tindakan perlindungan gambut dan hutan, Indonesia telah mengembangkan sejumlah kebijakan terobosan.

Screen Shot 2017-09-21 at 13.17.52

Terhadap ekosistem gambut, Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang antara lain mengatur perlindungan gambut, rawa gambut, dan menetapkan BRG sebagai lembaga pengelola perlindungan gambut. Di bidang kehutanan, Pemerintah melanjutkan moratorium pemberian izin di penggunaan kawasan hutan, pembatasan luas izin, dan mengatur ulang tata kelola kehutanan dengan menarik kewenangan perizinan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Meskipun dua sektor ini dapat dipandang sebagai terobosan, namun belum dapat dikalkulasikan berapa banyak emisi yang dapat dikurangi dari intervensi ini. Lebih dari itu, aspek pemantauan dan penegakan hukum masih banyak bolongnya dalam proses ini.

Bagaimana dengan komunitas penjaga hutan

Sebetulnya ada suatu skenario bisa mempercepat capaian pengurangan emisi di Indonesia, yakni memberikan kepercayaan lebih besar bagi komunitas di dalam dan sekitar hutan untuk mengelola hutan. Mereka adalah masyarakat adat dan komuntias lokal yang telah hidup ratusan dan ribuan tahun disana, bahkan berselimutkan peradaban hutan. Hutan, adalah alamat kebudayaan bagi komunitas-komunitas ini, yang mempengaruhi caranya berperilaku bahkan produk-produk ekonomi mereka.

Era saat ini dimana perubahan iklim membanjiri berbagai pertimbangan kebijakan, berbagai studi telah menunjukkan bahwa trajektori emisi historis hutan-hutan komunitas di Indonesia relatif rendah. Kebakaran hutan dan lahan 2015 menunjukan hutan-hutan komunitas di lampung dan jambi bertahan dari api. Di berbagai negara, banyak pihak mulai mengandalkan hutan komunitas sebagai cadangan karbon yang tetap bertahan dari ekstraksi dan serbuan pembangunan skala besar. Studi di Brazil misalnya menunjukkan, rata-rata penurunan laju deforestasi di wilayah yang dikuasai komunitas adat dan kawasan lindung lebih rendah 7-11 kali dibandingkan kawasan di luar daerah tersebut (Ricketts TH, Soares-Filho B, da Fonseca GAB, Nepstad D, Pfaff A, et al. 2010). Stok karbon di wilayah masyarakat adat juga sangat tinggi dibandingkan dengan di luar mereka. Sebagaimana nampak dalam peta karbon di bawah ini. Wilayah masyarakat adat (berwarna coklat) menyumbang perindungan hutan yang jauh lebih besar (diagram hijau) dibandingkan dengan kawasan yang dikuasai militer (kuning) atau bahkan yang diurus oleh Pemerintah dalam bentuk kawasan lindung (hijau).

Screen Shot 2017-09-21 at 13.44.06

Tantangannya adalah isu hutan komunitas akan terkait dengan skema perdagangan karbon global yang saat ini disebut dengan offset. Pertanyaan utama offset adalah menyangkut siapa pemilik karbon. Pertanyaan ini selain soal etik, juga secara mendasar berkaitan dengan hukum. Pemilik adalah orang yang pertama kali memilik hak untuk bertransaksi, merancang dan mengajukan kontrak, mengukur manfaat, menegosiasikan keuntungan, dan sebagainya. Jika aspek ini belum tuntas maka proyeksi global bahwa hutan akan menjadi palang pintu terakhir upaya mengatasi perubahan iklim juga akan menemui kendala, terutama konflik sosial dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Persoalan pengakuan hak masyarakat barangkali secara politik sudah bukan lagi isu baru di ruang publik. Pada level atas birokrasi, banyak komitmen diumbar. Yang lebih sulit mewujudkannya adalah menembus ritual hukum, terutama prosedural yang rumit atau diperumit karena sentakan politik tidak mampu menggulung jauh ke penggerak paling dalam birokrasi, yakni birokratisme, formalisme, dan semangat membela korps. Ketiganya nampak dalam kasus hutan adat. Pada awal masa pemerintahannya Presiden Joko Widodo menargetkan alokasi lahan untuk masyarakat miskin, petani, masyarakat adat sebesar 12.7 juta hektar. Namun setelah lima tahun, pengakuan atas hutan adat tidak kunjung meningkat. Pada akhir 2016, Jokowi memberikan SK Penetapan Hutan Adat di 8 wilayah. Selebrasi di istana kontras dengan statistik keadilan akses terhadap hutan. Luas yang baru diakui hanya 0.0108643 % (13,122.30 ha) dari luas kawasan hutan, gap yang sangat jauh dibandingkan dengan alokasi untuk korporasi yang mencapai 28.9 % (35.000.000 ha) dari luas kawasan hutan.

Screen Shot 2017-09-21 at 13.53.03

Selain itu, masih banyak keraguan atas  keseriusan negara maju untuk bertanggung jawab terhadap emisi mereka. Dengan laju emisi saat ini, tanpa suatu proyeksi pengurangan yang ekstrim maka hutan satu-satunya andalan. Namun hutan yang tersisa dipandang tidak cukup mampu untuk menjerat lepasan emisi ke atmosfir. Untuk itu, 500 juta ha hutan baru diusulkan dalam skenario penampung alamiah (hutan) secara global. Pertanyaannya sekali lagi adalah dimana lokasi lahan-lahan baru itu akan diusulkan. Bukankah dalam sejarah kehutanan selama ini, reforestasi seringkali adalah agresi terhadap wilayah tempat hidup komunitas di dalam dan sekitar hutan. Demi perluasan taman nasional, banyak komunitas adat tergusur dari kampung halaman mereka. Kehadiran skema baru ini secara ilmiah boleh jadi penting untuk iklim global tetapi pada saat yang sama bisa jadi bencana mengerikan bagi masyarakat adat dan lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Berbagai tantangan ini tentu perlu dijawab. Barangkali beberapa langkah kecil harus dimulai, daripada menggemborkan target terlalu besar. Misalnya, beberapa wilayah komunitas yang sudah siap secara faktual, baik tata kelola maupun informasi kenyataan fisik harusnya sudah bisa diakui, tanpa harus menunggu lika liku prosedur yang panjang.



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter