“You are what you eat” sering kita dengar seperti peribahasa sekaligus wejangan yang bermakna ganda. Statemen itu boleh jadi memang demikian. Misalnya, dimaksudkan untuk menunjukkan risiko makanan, watak atau status sosial seseorang. Dipopulerkan ahli gizi Amerika Victor Lindlahr pada 1930an, “you are what you eat” pada dasarnya dimaksudkan untuk mengaitkan antara risiko kesehatan publik akibat mengkonsumsi makanan murahan.
Dewasa ini, kita mewarisi kampanye Lindlahr yang merupakan ekspresi materialisme rasional Amerika dimana makanan yang kita makan dianggap sebagai wajah nutrisi. Materialisme itu pula yang membawa ukuran nutrisi ke dalam otoritas ilmiah karena masyarakat ilmiah dianggap sebagai representasi kebenaran material. Karena itu, hidangan di atas piring diarahkan oleh kecenderungan publik yang bersandar pada kajian-kajian ilmiah. Banyak orang tidak makan coklat, mengurangi gula, atau menghindari konsumsi makanan tertentu karena rekomendasi hasil penelitian tertentu. Tidak sedikit pula preferensi makanan tertentu merupakan buah dari apa kata laporan ilmiah. Segudang temuan para peneliti disitir sebagai rujukan untuk menggarisbawahi masalah-masalah maupun solusi itu.
Namun, bagaimana jika laporan-laporan ilmiah itu tidak lebih dari sekedar pertarungan industrial? Bagaimana jika apa yang dikatakan nutrisi, tidak lebih dari promosi label tertentu?
Pada 2020, Gary Sacks dkk dari Deakin University Australia melacak benang merah antara studi ilmiah dan permainan tangan-tangan industri makanan di dalamnya. Sacks menganalisi 1461 artikel ilmiah yang menjalani proses peer review di 10 jurnal nutrisi terkemuka. Analisis itu menemukan bahwa lebih dari 13 % dari artikel penelitian itu (200 artikel) mempunyai hubungan dengan industri makanan. Lebih mencengangkan lagi, separuh di antara temuan mereka mendukung kepentingan bisnis yang mendanai mereka baik dengan mempromosikan produk tertentu atau menganggap sepele dampak kesehatan yang ditimbulkan. Journal of Nutrition yang diterbitkan oleh American Society for Nutrition merupakan salah satu jurnal yang menempati urutan teratas dalam bayang-bayang bisnis makanan. Menurut Sacks dkk, 30 % artikel dari 223 artikel yang diterbitkan jurnal itu mempunyai koneksi dengan industri makanan. Ironisnya, Journal of Nutrition merupakan terbitan pertama masyarakat ilmiah Amerika yang mengkhususkan diri hanya pada nutrisi.
Kepentingan bisnis terhadap penelitian suatu produk makanan bukan hal baru. Makanan yang dipajang dalam etalase pasar hari ini tidak lain merupakan produk penelitian. Kita bisa membaca hasilnya dalam label produk yang lengkap dengan persentase senyawa kimia yang dianggap bermanfaat buat tubuh. Makin jelas dan lengkap informasi itu, makin bereputasi pula suatu produk. Untuk mendapatkan deskripsi itu, perusahaan makanan terkemuka memiliki Research and Development yang amat tangguh. Divisi itu acapkali tidak hanya ditopang oleh para peneliti hebat lulusan universitas top dunia, tetapi juga diembel-embeli dengan kehadiran nama-nama beken yang merupakan profesor rujukan dengan status sebagai fellow, board adhoc, adviser, dan seterusnya.
Namun bisnis makanan barangkali memandang penelitian dari dapur sendiri tidak cukup independen. Mereka membutuhkan legitimasi masyarakat ilmiah yang dipandang lebih netral sebagai dalih memenuhi syarat obyektivitas. Strategi ini melibatkan kampus-kampus bereputasi. Tahun 2016, Kristin Kearns dkk mempublikasikan laporan mereka mengenai indikasi hubungan antara kepentingan industri gula dan Departemen Nutrisi Kesehatan Publik Universitas Harvard dalam suatu publikasi ilmiah tahun 1967. Dalam publikasi itu, para peneliti sama sekali tidak menyebutkan gula, tetapi lemak sebagai sumber utama masalah jantung. Ketika itu, salah satu peneliti adalah Kepala Departemen Nutrisi Kesehatan Publik Harvard yang sekaligus merupakan anggota board adhoc dari SRF (Sugar Research Foundation). SRF merupakan lembaga penelitian industri gula yang didirikan dengan maksud membentengi industri itu dengan argumen-argumen yang nampak ilmiah. Cengkraman industri gula memang dikenal sangat kuat, tidak hanya pada kajian ilmiah tetapi juga politik dan kebijakan di Amerika. Beberapa buku dan film dokumenter membuka kedok ini, antara lain serial Netflix “Rotten” atau film dokumenter investigatif dari Endevr yang dimuat di Youtube berjudul “The Sugar Lobby: How the Industry Hides The Realm Harm Caused by Sugar”.
Dari semua narasi vulgar keterlibatan industri dalam menyembunyikan dampak inovasi mereka, barangkali tidak ada yang lebih canggih dalam membungkus kepentingan bisnis dengan jargon ilmiah daripada laporan-laporan terkait inovasi GMO. Pada 1973 ketika rekayasa genetika dikembangkan oleh saintist Amerika, propaganda manfaatnya dengan cepat berbuah bisnis dan mulai dipasarkan tahun 1980an. Tidak hanya disitu. Para intelektual tukang itu didukung oleh WHO yang ikut melegitimasi produk ini dengan mengatakan bahwa produk GMO yang telah tersedia di pasar internasional telah menempuh sistem uji keamanan dan tidak mungkin menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Selain itu, tidak ada efek pada kesehatan manusia yang ditunjukkan sebagai akibat dari konsumsi makanan tersebut oleh populasi umum di negara-negara di mana makanan tersebut telah disetujui. Bill Gates juga mendukung GMO sebagai solusi untuk Afrika dengan dalih kelaparan dan perubahan iklim.
Klaim ini, sayangnya, diikuti oleh minimnya kajian ilmiah yang menurut analisis Domingo tahun 2000, tidak banyak publikasi yang memperlihatkan korelasi antara GMO dan kesehatan. Hingga 2016, setelah lebih dari 30 tahun studi-studi ilmiah yang mengurai hubungan tersebut, masyarakat ilmiah masih ragu-ragu untuk menyatakan pendapat mereka. Dalam sayup-sayup, beberapa studi melihat hubungan antara makanan GMO dengan gejala keracunan, alergi dan penyakit genetik. Jelang dan sesudah tahun 2010, beberapa penelitian menelusuri hubungan antara beberapa jenis alergi serius dengan kode genetik protein pada jagung GMO. Temuan alergi juga diindikasikan dipicu oleh kedele GMO yang mengambil rekayasa dari kacang Brazil dan menimbulkan risiko kesehatan pada orang-orang yang alergi kacang.
Yang menarik dari studi-studi ilmiah ini adalah keengganan untuk menyatakan secara tegas indikasi-indikasi dampak. Dua peneliti dari Mexico dalam penutup artikel mereka “Risk Assessment of Genetically Modified Crops fro Nutrion and Health”, mengatakan bahwa “dibutuhkan lebih banyak upaya ilmiah untuk membangun kepercayaan dalam evaluasi dan penerimaan produk GMO”.
Baru pada tahun 2016, sebuah konsensus ilmiah dari sekelompok akademisi secara lebih serius mengangkat kerisauan yang gamblang terhadap penggunaan herbisida glifosfat yang paling sering digunakan komoditas GMO seperti kedele, jagung, kanola. Senyawa itu makin merajalela dalam rantai makanan global dan kemungkingan mempunyai kaitan dengan pemicu kanker. Petunjuk ilmiah ini dipimping John Peterson Myers, Profesor Kesehatan Lingkungan dari Carnegie Mellon University Amerika, Michael Antoniou dari Departemen Medis dan Molekular Genetik King’s College London, Bruce Blumberg dari Departemen Biologi Sel Universitas California Amerika.
Manipulasi riset dan keraguan untuk mengklaim batas-batas kebenaran menunjukkan bahwa laporan-laporan ilmiah yang mempromosikan nutrisi makanan maupun mengingkarinya tidak boleh serta merta ditelan mentah-mentah. Menurut saya, temuan mereka tidak lebih baik dari pengalaman personal subyek atas reaksi tubuh yang pada dasarnya merupakan pengalaman spiritual. Cocok untuk satu orang, belum tentu sama dengan yang lainnya. Pengalaman hidup tiap-tiap orang dapat memberikan indikasi langsung bahwa tubuh merupakan laboratorium pribadi yang seringkali ampuh menentukan apa yang cocok. Indikasi toksisitas dirasakan secara langsung reaksinya oleh tubuh. Makanan yang tidak cocok, barangkali reaksinya adalah orang itu tidak bisa tidur, kentut sepanjang waktu, jantung berdebar, gatal-gatal, kepala pusing, muntah-muntah. Semuanya itu adalah gejala yang boleh jadi signal tubuh untuk stop mengkonsumsi makanan tertentu itu. Tentu tubuh masih toleran ketika akibatnya hanya “mena ta’i” yang bikin orang nongkrong lama di toilet. Tetapi kalau membawa elemen karsinogenik seperti kata Myers dkk, ceritanya akan lebih panjang yang menghabiskan uang dan air mata.
Apa yang dikatakan Feurbach telah menjadi motto kaum vegan, bahwa makanan memang mempengaruhi sikap pikiran. Namun tidak banyak yang melihat bahwa makanan juga ditentukan oleh pikiran. Bahwa melalui jiwa atau pikiran pula, kita sebagai subyek dapat menentukan makanan apa yang cocok, alih-alih mengandalkan laboratoriumnya para intelektual tukang yang juga tidak tahu-tahu amat dengan tubuh kita.
Sumber:
Pernyataan WHO mendukung GMO: https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/food-genetically-modified
Pernyatan Bill Gates mendukung GMO: https://www.wsj.com/video/bill-gates-gmos-will-end-starvation-in-africa/3085A8D1-BB58-4CAA-9394-E567033434A4.html
Artikel John Peterson Myers dkk mengenai risiko senyawa glifosfat https://ehjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12940-016-0117-0