Sudah menjadi pemahaman publik bahwa NTT adalah daerah kering. Tidak ada aktivitas ekstra yang lebih giat dilakukan penduduk di daerah ini selain usaha serius untuk mendapatkan air. Beberapa daerah seperti Ruteng, dan sekitarnya memang mendapatkan berkah hujan yang cukup memadai, bisa mencapai 3000-4000 mm per tahun (lihat peta). Tetapi sebagian besar wilayah lainnya tidak menikmati kelimpahan air. Dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1500 mm per tahun dan musim kering yang lebih panjang, penggunaan air benar-benar harus hemat.

Belakangan ini, krisis air tidak hanya dipengaruhi oleh karakter ekologis NTT sebagai wilayah kering. Perubahan iklim telah memengaruhi wajah iklim global dan lokal. Laporan terbaru Penilaian ke-6 atau sering disebut AR6 (Sixth Assessment Report) tahun 2022 dari Kelompok Kerja Antarnegara mengenai Perubahan Iklim atau IPCC, disebutkan bahwa pemanasan global berlangsung lebih cepat daripada yang diduga oleh laporan-laporan ilmiah sebelumnya. Kecenderungan itu dikonfirmasi oleh pengamatan terhadap turbulensi iklim di berbagai wilayah. Semua regio melaporkan cuaca ekstrim yang makin sering, antara lain kekeringan yang berkepanjangan atau curah hujan berlebihan yang mengakibatkan banjir. Di wilayah bersalju terdapat laporan makin berkurangnya salju hingga diproyeksikan beberapa wilayah akan kehilangan musim salju selamanya.
Menurut laporan IPCC itu, perubahan iklim diproyeksikan akan meningkatkan jumlah daerah yang mengalami kekurangan air dan memperburuk kekurangan air di daerah yang sudah mengalami kesulitan air. Wilayah yang secara alamiah kering akan mengalami krisis kekeringan yang lebih akut. Sebuah laporan lain menyebutkan bahwa dalam 60 tahun terakhir, daerah-daerah semi-arid menyumbang perluasan lahan kering lebih dari separuh total lahan kering global. Itu semua terjadi akibat pemanasan global.
Data yang diungkapkan oleh laporan-laporan ilmiah tentu sudah dialami pula oleh banyak orang terutama generasi yang pernah menikmati kondisi alam yang masih ramah. Mereka adalah generasi yang sempat berburu buah-buahan hutan, jamur liar, dan semua kekayaan alam yang diperoleh gratis dari ibu bumi. Orang-orang ini masih bisa memberikan testimoni mengenai perbedaan pengalaman mereka berinteraksi dengan suatu ekosistem dulu dan saat ini. Beberapa di antara pengalaman itu cukup ekstrim. Misalnya daerah A dulunya dingin, saat ini cenderung hangat, bahkan panas. Daerah B pernah berada jauh dari pantai, saat ini sudah terendam air laut. Daerah C yang dulu kaya air, saat ini tiap waktu mengalami krisis air. Pengalaman-pengalaman ini nyata, bahkan tidak hanya dialami oleh generasi yang masih menikmati kemurahan alam. Generasi milenial pun mengalami perbedaan itu. Artinya, pengalaman pribadi masing-masing orang mengkonfirmasi kesimpulan laporan ilmiah yang diutarakan di muka bahwa proses perubahan ukuran ekologis berlangsung demikian cepat, hingga semua orang bisa mengalami dan menceritakannya kembali.
Dampak pada Produksi Kopi
Salah satu dampak yang sudah diperhitungkan dalam sejumlah model proyeksi perubahan iklim adalah pada budidaya kopi. Analisa ilmiah telah dilakukan untuk daerah-daerah penghasil kopi, termasuk Flores. Budidaya kopi arabica adalah salah satu yang paling terkena dampak terutama karena ketergantungannya pada iklim bersuhu dingin. Studi Gotz Schroth dkk pada tahun 2015 memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, luas lahan kopi di Flores yang diperkirakan efektif untuk kopi arabica hanya 230 hektar dan hanya bisa ditambahkan seluas 85 hektar dari lahan yang saat ini belum ditanami arabica. Total luas lahan produktif kopi arabica di Flores pada 2015 mencapai 16.518 hektar dan masih dapat dinaikkan hingga 24.128 hektar. Pada 2050, terjadi pengurangan lahan produktif sebesar 16.288 ha atau 77,5 % dari luas lahan saat ini.
Studi Gotz Schroth dkk secara implisit mengatakan bahwa agar petani kopi arabica dapat bertahan, mereka harus membuka kebun di lahan yang lebih tinggi dan bersuhu dingin. Pada 2017, peneliti lainnya, Peter Läderach, memperkirakan bahwa perubahan elevasi tersebut bergerak dari elevasi 800-1400 DPL saat itu menjadi 1200-1600 DPL pada 2050. Tanpa perubahan ketinggian tersebut, cita rasa kopi akan berubah yang tentu saja akan mengalihkan selera konsumen kopi. Selain itu, ketidaksesuaian iklim akan mengganggu produktivitas kopi dan memicu serangan hama.
Namun, lahan yang lebih tinggi seperti yang dimaksud Gotz Schroth dkk maupun Peter Läderach saat ini masuk dalam kawasan hutan. Selain itu, disana terbentuk ekosistem penopang utama siklus tata air yang menghidupi Pulau Flores saat ini. Jika petani mengambil tindakan membuka lahan-lahan itu maka akan ada pertarungan memperebutkan lahan antara penguasaan negara terhadap kawasan hutan dan klaim masyarakat untuk budidaya. Selanjutnya adalah kontestasi antara kepentingan mempertahankan pasokan air dan produksi kopi.
Selain proyeksi dampak jangka panjang hingga 2050, goncangan iklim yang sudah berlangsung saat ini seperti la-nina (musim hujan yang lebih panjang) atau el-nino (musim kemarau yang leibh panjang) maupun volume hujan yang lebih besar atau kemarau yang lebih panas berdampak secara langsung pada produktivitas kopi. Studi Yeli Sarvina dkk (2021) mengenai dampak variabilitas iklim tak menentu di Pulau Sumatera menunjukkan bahwa La-Nina mempunyai dampak yang lebih signifikan terhadap penurunan produksi kopi. Selama periode itu, penurunan produksi berkisar antara 6-22 %. Sementara akibat el-nino, penurunan mencapai 2-20 % per tahun.
Peningkatan curah hujan yang terjadi saat bunga kopi sedang bersemi mengakibatkan gugurnya bunga kopi yang pada akhirnya mengurangi jumlah biji. Penurunan juga terjadi akibat meningkatnya hama kopi yang terpicu akibat intensitas hujan yang berlangsung lama yang meningkatkan kelembaban pada ekosistem kopi. Sementara El-nino mengganggu proses metabolisme dalam tanaman kopi yang menimbulkan stress dan akhirnya mengurangi produksi. Saat ini, pemicu ini masih dapat diatasi dengan menerapkan teknologi tertentu atau menambahkan input produksi untuk menstabilkan produksi kopi.
Adaptasi perubahan iklim

Menghadapi perubahan iklim dan dampak-dampaknya itu, petani dapat menyiapkan diri untuk beradaptasi terhadap turbulensi perubahan. Contoh adaptasi yang paling mudah adalah beralih dari jenis tanaman yang rentan terhadap dampak perubahan iklim ke tanaman yang lebih tahan. Sehingga, petani kopi arabica harus mulai memikirkan tanaman pengganti dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi yang setidaknya sama dengan kopi. Pilihan lainnya adalah mengembangkan inovasi dan teknologi kopi yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Cara ini lebih mahal karena melibatkan berbagai bentuk rekayasa yang harus tepat dengan kondisi lokal. Jika tidak, inovasi itu jadi ancaman ekologis yang justru kontraproduktif terhadap upaya adaptasi.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu menyiapkan dukungan untuk membantu lebih intensif wilayah-wilayah yang saat ini telah terindikasi mengalami dampak serius akibat perubahan iklim. Pada 2016, identifikasi terhadap wilayah-wilayah ini sudah dilakukan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melalui peta SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan). Dalam informasi itu diperlihatkan bahwa di Pulau Flores, Kabupaten Manggarai Timur adalah wilayah yang kerentanannya paling tinggi (warna merah tua), sementara Manggarai dan Manggarai Barat sedang (kuning). Sisanya rendah (warna hijau).
Adalah bijak jika wilayah-wilayah yang rentan itu didukung dengan kebijakan yang meningkatkan kapasitas ekosistem untuk bertahan. Kebijakan seperti itu dianjurkan untuk melindungi warga dari dampak yang lebih serius. Namun, seperti terindikasi pada peta, wilayah-wilayah itu justru menjadi lokasi utama eksploitasi pertambangan. Pilihan semacam itu meningkatkan beban ekologis, sekaligus menyulitkan ekosistem untuk bertahan dari gempuran perubahan iklim. Dampak yang akan terjadi adalah seperti yang diutarakan para ahli bahwa wilayah tersebut jauh lebih rentan daripada daerah lainnya. Pemulihan apapun yang dilakukan sesudahnya akan menyerap banyak biaya yang barangkali tidak akan bisa ditutup oleh keuntungan hasil eksploitasi yang dilakukan saat ini.
Seharusnya adaptasi perubahan iklim dimulai dengan menargetkan kopi sebagai salah satu bentuk penyesuaian. Bilamana kopi tidak lagi sanggup bertahan maka diperlukan alternatif lain yang harus disiapkan dari saat ini. Di samping itu, upaya dini untuk memperlambat laju dampak terhadap tanaman kopi perlu dikaji. Misalnya, apa dampak dari perubahan lansekap di satu wilayah pada lansekap keseluruhan di Flores. Apakah perubahan tersebut mempercepat pemanasan suhu pada skala mikro yang segera dirasakan dampaknya pada tingkat mikro. Jika iya, maka tindakan mengubah lansekap tersebut harus dihentikan dan diganti dengan rehabilitasi dan restorasi.