Pasar sekunder karbon adalah pasar tempat kredit karbon diperjualbelikan antara pihak-pihak yang tidak secara langsung terkait dengan tanggung jawab menurunkan emisi. Mereka dipertemukan oleh manajer investasi yang ada di lantai bursa. Lantai bursadiatur oleh hukum pasar yang menetapkan harga berdasarkan ukuran pasar. Harga pasar mengikuti hukum penawaran dan permintaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kebijakan pemerintah, situasi ekonomi dunia, spekulasi investor, ketersediaan barang/jasa, usia pembeli, tingkat serapan tenaga kerja, pendapatan, fluktuasi sewaktu-waktu, dan kompetisi (Indeed 2021).[i] Nilai karbon pada lantai bursa tidak dikaitkan dengan idealisme yang melekat pada upaya melindungi dan mempertahankan karbon, misalnya membantu komunitas, menjaga mata air, mengurangi emisi. Karbon menjadi obyek pasar yang mengikuti hukum-hukum pasar.
Karbon sebagai obyek pasar telah berkembang sejak Protokol Kyoto. Belakangan ini tema ini diperbicangkan kembali dalam konteks Perpres Nilai Ekonomi Karbon, tetapi riwayatnya tidak lepas dari konteks Protokol Kyoto. NEK merupakan skema baru yang merespons keluaran COP 21 yakni Perjanjian Paris 2015. Dalam skema tersebut perdagangan karbon hutan merupakan salah satu opsi pendanaan untuk membiayai atau memfasilitasi inisiatif mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Karbon hutan merupakan paket dalam skema REDD+ yang telah berlangsung sejak COP 13 di Bali 2007. Sebelum COP, Indonesia sudah membentuk forum IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). IFCA memainkan peranan penting terhadap posisi Indonesia dalam perundingan perubahan iklim COP 13 di Bali, 2007. IFCA dibentuk untuk menganalisi mengenai bagaimana sebuah skema REDD dapat beroperasi sebagai mekanisme konkrit atas pengurangan emisi karbon (IFCA, 2007). IFCA pada dasarnya adalah kelompok studi yang terdiri dari pakar berbagai kementerian dan peneliti dari lembaga-lembaga nasional maupun internasional. Di samping itu, penyusunan dokumen REDD juga mempertimbangkan konsultasi publik dengan pemangku kepentingan kehutanan.
Dokumen REDD IFCA disusun sejak Juli 2006 hingga Juni 2008. Dalam sesi paralel COP 13, tanggal 6-7 Desember 2007, Kemenhut mempresentasikan hasil IFCA sebagai kesiapan Indonesia terhadap REDD. Ada sejumlah donor yang terlibat mendukung persiapan ini, yakni DFID, World Bank, PROFOR, Pemerintah Inggris, Australia dan Jerman (GTZ) di samping pakar yang terlibat menyusun laporan (Rizaldi Boer dan Jim Davie).[ii]
IFCA menghasilkan rencana tiga tahapan REDD untuk Indonesia, yakni[iii]:
Fase 1 : Persiapan (2007).
Pada tahap ini dikembangkan berbagai kebijakan yang akan membantu pelaksanaan REDD;
Fase 2 : Transisi/Pilot Activities (2008-2012);
pada tahap ini berbagai jenis kegiatan uji coba dijalankan untuk mencari tahu kesulitan dan peluang menerapkan REDD
Fase 3 : Implementasi Penuh (mulai 2012 atau lebih awal sesuai hasil COP).
Fase ini merupakan tahapan dimana REDD sudah menuai manfaat melalui pelaksanaan sejumlah aktivitas yang secara nyata merupakan tindakan REDD. Tahap ini juga akan berkaitan dengan sumber pendanaan termasuk skema pasar yang sangat serius dibahas dalam forum IFCA. Skema ini diuraian di bagian berikut tulisan ini.
Tiga fase ini menjadi posisi Pemerintah Indonesia yang di bawa ke dalam COP 13 di Bali dan terus berpengaruh hingga negosiasi perubahan iklim saat ini. IFCA mendiagnosa elemen kunci REDD yang mencakup lima hal, yakni:
- Sebuah baseline (rujukan) yang merupakan dasar bagi pengurangan deforestasi dan degradasi;
- Strategi untuk mengurangi emisi dan menjamin pengurangan secara tetap permanen (permanence);
- Cara-cara melakukan monitoring dan memverifikasi pengurangan emisi dan mencegah kebocoran emisi (leakage);
- Pasar REDD/Pendanaan;
- Mekanisme untuk mengatur dan mendistribusikan pembayaran kepada orang-orang yang menanggung biaya akibat menghindari deforestasi dan degradasi.
IFCA Pasar Karbon
Untuk mengoperasionalkan elemen-elemen kunci di atas, IFCA secara khusus mendalami pendanaan berbasis pasar karbon. Dalam hal ini, produksi kredit karbon memerlukan langkah-langkah yang akan bekerja pada tingkat nasional dan sub-nasional. Karena itu, IFCA memperkenalkan empat langkah yang diperlukan REDD sebagai alat untuk mengintegrasikan upaya-upaya pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan di semua level.
- Pengembangan infrastruktur organisasi maupun managemen yang memiliki kemampuan berikut: (a) merancang baseline dengan mana rujukan emisi tahunan akan diukur; (b) kapasitas untuk memantau perubahan emisi dengan ketepatan yang memadai untuk memberi keyakinan dan kualitas atas kredit karbon yang diperdagangkan; (c) sebuah struktur melalui mana kredit karbon dapat diatur; (d) sebuah struktur dengan mana pendapatan dari perdagangan karbon dapat didistribusikan ke institusi maupun grup yang bertanggung jawab untuk mencapai pengurangan emisi
- Identifikasi atas aktivitas-aktivitas tersebut atau perubahan organisasi dan industri yang diperlukan untuk mencapai pengurangan atas emisi;
- Pengembangan sistem pasar karbon yang memiliki kemampuan dalam menangani perdagangan, terutama mengakui watak dan sumber pembeli potensial
- Sebuah sistem tata kelola yang menjamin bahwa hukum ditegakan; bahwa isu sistematik tata kelola seperti transparansi diatasi dan transaksi karbon dilindungi

Seperti yang telah dipaparkan di atas, pembentukan baseline, penurunan emisi hingga monitoring, dikaitkan dengan pendanaan pasar kabon. Hasil akhirnya adalah sejumlah pembayaran berbasis pasar yang akan dibagikan ke pelaku penurunan emisi. Flowchart ini jug menunjukkan bahwa IFCA berkonsentrasi pada sumber dana berbasis pasar. Dana tersebut akan digunakan untuk memberikan insentif yang dihubungkan dengan pelaku deforestasi di berbagai level pemerintahan, tergantung besaran dampak REDD.
Dalam laporan yang sama, IFCA juga berambisi agar berbasis pada pekerjaan IFCAlah Indonesia dapat memimpin dalam menerapkan percontohan REDD. Petikan pelajaran dari proyek percontohan REDD dapat ditampilkan pada 2008 yang akan digunakan untuk memperbaiki struktur REDD dan sistem untuk penerapannya sebelum diadopsi secara penuh pada 2012.[iv]
Terkait isu tanggung jawab pengurangan emisi, IFCA mengakui perlunya mengatasi persoalan pemicu deforestasi. Pada saat yang sama IFCA juga mengusulkan agar perundingan UNFCCC menciptakan pasar internasional dan protokol yang baru. Kategori penyebab deforestasi yang teridentifikasi adalah pemicu yang terencana dan pemicu tidak terencana. Keduanya perlu diperlakukan secara berbeda. Selanjutnya, IFCA mengusulkan model penentuan baseline emisi antara yang merupakan perpaduan antara deforestasi terencana dan tidak terencana. Dalam hal ini, IFCA mengakui bahwa proporsi deforestasi/degradasi terencana dan tidak terencana berbeda di masing-masing pulau tergantung kondisi bio fisik dan sosial ekonomi. Model ekonomi dapat digunakan untuk memproyeksi deforestasi berdasarkan pembangunan terencana (misalnya, konversi jadi HTI maupun sawit) dan mempertimbangkan perbedaan di masing-masing wilayah dan juga ekonomi global terkait penawaran dan permintaan hasil komiditi (IFCA, 2007, MoF, 2008)
Untuk deforestasi tidak terencana, proyeksi masa depan akan memotret mengenai dimana deforestasi nampaknya akan terjadi berdasarkan pola masa lalu. Dalam hal ini, Indonesia dapat menggunakan model spasial. Misalnya, alat seperti GEOMOD (sebuah model yang terdapat dalam software GIS IDRISI yang komersial)[v] telah digunakan untuk memicu dimana dan seperti apa rata-rata lahan yang dikonversikan dari hutan menjadi tidak berhutan, dan untuk memberi gambaran atas lokasi yang spesifik.
Skema perdagangan karbon yang ditetapkan dalam Perpres 98/2021 tidak banyak mengubah skenario yang dicetuskan IFCA 15 tahun lalu. Skema itu mengadopsi langkah-langkah pra-skema karbon. Misalnya, IFCA menganjurkan FREL atau baseline sebagai basis dalam menetapkan mekanisme perdagangan karbon. Perpres mengakomodasi konsep tersebut dalam beberapa ketentuan, antara lain mengenai perlunya perencanaan aksi mitigasi (pasal 9) dan identifikasi sumber emisi (pasal 11).
Sejumlah Catatan Pasar Sekunder
Integrasi pasar ke dalam mata rantai pembentukan REDD perlu diperiksa lebih jeli dalam kaitannya dengan isu tanggung jawab yang merupakan isu utama dalam REDD. Isu tanggung jawab mengaitkan dengan jelas antara isu REDD dengan kerangka kebijakan, yakni bahwa REDD sebagai obyek yang menimbulkan kewajiban harus terkait dengan subyek yang bertanggung jawab terhadap kewajiban tersebut.
Perpres NEK pada dasarnya sepakat dengan gagasan bahwa pelaku deforestasilah yang bertanggung jawab terhadap pengurangan emisi sekaligus menyediakan pendanaan. Namun penekanan pada pasar sekunder semata akan mengabaikan hubungan antara pelaku pelepasan emisi (drivers of deforestation) dan konsep tanggung jawab pengurangan emisi. Pasar sekunder mengalihkan tanggung jawab dari pelaku emisi termasuk pelaku deforestasi kepada pasar. Konsep utama mitigasi perubahan iklim, pelaku pelepasan emisilah yang harus bertanggung jawab. Dalam hal ini, pasar sekunder bisa menghubungkan prinsip pencemar harus membayar (polluters pay) yang telah ada dalam UU Lingkungan Hidup dan konsep tanggung jawab dalam isu perubahan iklim.[vi]
Perpres NEK telah menjadi payung hukum untuk membuka pasar karbon. Namun pesannya tidak boleh memicu banyak ekspektasi rente yang eksesif di tingkat provinsi dan kabupaten dan menimbulkan rentetan tuntutan terhadap “uang REDD” yang sampai kini tak kunjung datang.[vii] Karena itu, pasar karbon harus memiliki fondasi idealisme yang harus tetap terkait dengan pelaku pelepasan emisi. Sehingga pendekatan REDD sungguh-sungguh memperhatikan tanggung jawab historis. Disana, skala rata-rata pelepasan emisi masing-masing pelaku semestinya menjadi pertimbangan agar distribusi benefit uang karbon memberi manfaat senyatanya bagi pelaku yang memang secara aktual melakukan pengurangan emisi lebih dari tindakannya melepaskan emisi.
[i] Indeed Editorial Team, (2021). “Market Factors Defined” (https://www.indeed.com/career-advice/career-development/what-are-market-factors)
[ii] Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, 2008, Consolidation Report Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation In Indonesia, hal 5-9. Lihat juga IFCA and the Ministry of Forestry Republic of Indonesia, 2007, REDD Methodology and Strategies: Summary for Policy Makers, hal. 1-5
[iii] http://www.dephut.go.id/uploads/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengantar.htm, dibaca 3 Januari 2009
[iv] Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, 2008, op cit dan IFCA and the Ministry of Forestry Republic of Indonesia, 2007 op cit
[v] Penjelasan mengenai apa itu GEOMOD, dapat dilihat di http://environment.yale.edu/gisf/programs/private-forests/dynamic-models-of-land-use-change/geomod
[vi] Pasal 34, 35 dan 36 UU No 23 tahun 1997. Lihat juga pasal 87 dan 88 UU No 32 Tahun 2009
[vii] Steni, Bernadinus, 2010, Suara Masyarakat Soal REDD, Pertemuan Kamar Masyarakat DKN 2 – 4 Agustus 2010 Rumah Kost 678, Kemang Selatan. Lihat juga Chris Lang, 9 Maret 2012, Wawancara dengan Teguh Surya, WALHI: “Kami menolak REDD. Kami menolak perdagangan karbon”. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/wawancara-dengan-teguh-surya-walhi-kami-menolak-redd-kami-menolak-perdagangan-karbon