Karakter Pulau dalam Preservasi Komodo

Buaya darat Komodo (Varanus Komodoensis) telah dikenal luas sebagai binatang purba yang tersisa, sehingga intervensi kebijakan untuk melindunginya terus menerus dilakukan. Di samping itu, upaya-upaya promosi untuk mendatangkan manfaat ekonomi dari keberadaannya melalui ekoturisme semakin gencar dilakukan, terutama dengan kebijakan wisata premium saat ini. Apakah kebijakan-kebijakan seperti ini mendukung manajemen TNK untuk keberlanjutan kehidupan satwa liar komodo?

Untuk menjawab pertanyaan ini, artikel ini mengambil studi Tim S. Jessop dkk (2007) berjudul “Island differences in population size structure and catch per unit effort and their conservation implications for Komodo dragons” yang dimuat di Jurnal Biological Conservation 135.

Studi ini tidak menjawab secara langsung pertanyaan di atas tetapi memberikan informasi yang patut dipercaya bagi pengembangan kebijakan pengelolaan TNK, terutama tingkat intervensi per pulau dengan memperhatikan keunikannya masing-masing.

Sumber: Kompas

Sebagaimana telah dilaporkan di berbagai studi, komodo tidak hanya ada di Pulau Komodo, tetapi tersebar di beberapa pulau yakni: Pulau Rinca, Pulau Gili Motang, Pulau Nusa Kode dan Pulau Flores. Di masing-masing pulau telah ditetapkan zona-zona. Sesuai ukurannya, Pulau Komodo dan Rinca memiliki hampir semua zona.

Pengembangan kebijakan wisata premium diindikasikan akan menambahkan zona pemanfaatan wisata di semua pulau. Hal ini tentu patut dikaji secara serius dengan memperhatikan keunikan masing-masing pulau.

Intervensi kebijakan terhadap pulau-pulau yang dihuni Komodo bukanlah hal baru. Dalam buku Bitten: True Medical Stories of Bites and Stings, Pamela Nagami menulis bahwa dibandingkan dengan perlindungan satwa lainnya, komodo merupakan binatang pertama di dunia yang mendapat perlindungan formal. Selain karena keunikannya, perlindungan dilakukan karena makin merajalelanya perburuan naga darat ini maupun babi rusa yang merupakan mangsa utamanya.

Kebijakan perlindungan tersebut dapat ditelusuri mundur hingga ke awal abad 20. Pada 1915, Sultan Ibrahim dari Bima yang membawahi wilayah Komodo hingga Flores Barat mengeluarkan Keputusan tentang Perlindungan Komodo. Kebijakan ini diikuti oleh rentetan kebijakan perlindungan lainnya yang melibatkan peran Pemerintah Kolonial Belanda. Misalnya, pada 1926-1930, Lansekap Manggarai dan Residen Timor mengeluarkan kebijakan melarang perburuan Komodo. Kebijakan ini diperkuat oleh aturan Pemerintah Hindia Belanda yakni Undang-undang Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonantie) pada 1931 yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda.

Setelah merdeka, ancaman terhadap Komodo masih terus berlangsung akibat perburuan liar. Karena itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.66/Dep.Keh/1965 tanggal 21 Oktober 1965 tentang Penunjukkan Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa seluas 31.000 Ha. Kebijakan ini diikuti dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk. I Nusa Tenggara Timur No.32 Tahun 1969 tanggal 24 Juni 1969 tentang penunjukkan Pulau Padar, Pulau Rinca dan Daratan Wae Wuul/Mburak sebagai Hutan Wisata/ Suaka Alam seluas 20.500 Ha. Dari periode 1992 hingga 2006, luas itu bertambah menjadi 132.572 ha dan ditetapkan sebagai satu dari 20 Taman Nasional Model.

Untuk mendukung kebijakan TNK maka beberapa penelitian telah mengidentifikasi karakter morfologi dan genetik satwa di masing-masing pulau, terutama antara populasi pulau besar dan kecil yang mewakili kapasitas dan dinamika pesebarannya (Ciofi and Bruford, 1999; Jessop et al., 2006). Meski demikian, di samping contoh-contoh perbedaan interpopulasi telah tersedia, sangat sedikit bukti yang bermanfaat menjelaskan mengenai bagaimana populasi beragam secara demografis dari waktu ke waktu yang adalah indikator krusial yang menentukan status populasi secara keseluruhan.

Studi Jessop dkk yang diulas disini memberikan kontribusi pada aspek indikator krusial yang menentukan status populasi secara keseluruhan.  Studi ini menyelidiki potensi perbedaan minor dalam dinamika sementara pada populasi dengan membandingkan antara satu pulau kecil (Gili Motang) dan satu pulau besar (Rinca). Peneliti memeriksa perbedaan demografis dalam dua populasi ini selama periode 10 tahun (1994-2004).

Secara khusus studi Jessop dkk menilai apakah populasi Komodo di Gili Motang dan Rinca stabil atau berosilasi (goyah), dan apakah mereka menunjukkan dinamika yang konsisten selama periode waktu antara 1994 dan 2004. Pertanyaan-pertanyaan ini diukur perbedaannya dalam lima parameter, yakni: (a) ukuran distribusi frekuensi, (b) rata-rata panjang moncong-ventilasi udara (snout–vent length: SVL) dan massa Komodo, (c) kondisi tubuh, (d) kelimpahan populasi relatif yang diperoleh dari data tangkapan per unit usaha dan (e) perkiraan kelimpahan populasi Gili Motang pada tahun 2004.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pulau besar Rinca, populasi komodo di pulau kecil Gili Motang menunjukkan perbedaan yang signifikan pada parameter tingkat individu dan populasi antara tahun 1994 dan 2002–2004. Penurunan temporal dalam massa rata-rata dan ukuran tubuh (yaitu SVL) menunjukkan bahwa populasi ini telah mengubah struktur ukuran populasinya. Perbedaan frekuensi tertentu dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa Populasi Gili Motang telah kehilangan individu terbesar dan terberatnya yang mengakibatkan perbedaan dalam struktur ukuran populasi.

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa populasi Gili Motang secara demografis tidak stabil selama periode 10 tahun ini dan terus menurun. Sebaliknya, populasi Rinca telah stabil selama periode ini dengan hanya perubahan kecil pada parameter populasi.

Perbedaan variasi populasi antara dua pulau ini barangkali muncul karena kepadatan dependen yang unik masing-masing pulau dan/atau dipengaruhi oleh proses lingkungan yang mengatur dinamika populasi. Dengan mempertimbangkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha menunjukkan tren penurunan, maka penurunan ukuran tubuh dan penurunan kondisi tubuh di Gili Motang secara keseluruhan dapat disebabkan karena ketersediaan makanan, penyakit atau depresi akibat perkawinan sedarah.

Secara khusus, studi-studi yang pernah ada menunjukkan bahwa perbedaan temporal dalam hal ketersediaan makanan, lebih sering terjadi daripada penyakit. Hal ini sangat menentukan dalam mempengaruhi karakteristik populasi dan pada akhirnya kelimpahan pada reptil. Dalam hal ini, Jessup dkk merujuk pada sejumlah riset yang menunjukkan bahwa Pulau Gili Motang mempunyai kepadatan mangsa besar terendah di antara empat populasi di dalam TNK. Ancaman antropik pada perburuan rusa bertanggung jawab atas rendahnya kepadatan Komodo di Gili Motang.

Jika tren penurunan terus berlanjut dan perkiraan populasi turun menjadi sekitar 100 individu, para peneliti mendorong manajemen TNK untuk melakukan strategi konservasi rekayasa untuk memulai tindakan pemulihan di Gili Motang. Pertama-tama, pemberian makanan tambahan dengan melepaskan mangsa alami berukuran besar (yaitu rusa Timor) dapat menjadi pilihan awal untuk memfasilitasi pemulihan populasi. Jika tindakan tersebut gagal maka translokasi Komodo dari populasi pulau lain yang paling mirip secara genetik dan ekologis dengan Gili Motang dapat menjadi pilihan pengelolaan lain. Dengan catatan, depresi perkawinan sedarah tercatat dengan baik untuk dipertimbangkan dalam merancang kebijakan translokasi.

Kebijakan wisata premium saat ini harus secara matang mempertimbangkan perbedaan karakteristik masing-masing pulau. Studi Jessup dkk setidaknya memberikan sebagian informasi ilmiah mengenai perbedaan-perbedaan itu. Atas dasar informasi semacam itulah seharusnya kebijakan wisata premium dikembangkan. 

Daftar Pustaka

Jessop, T. S., Madsen, T., Ciofi, C., Imansyah, M. J., Purwandana, D., Rudiharto, H., & Phillips, J. A. (2007). Island differences in population size structure and catch per unit effort and their conservation implications for Komodo dragons. Biological Conservation, 135(2), 247-255.

Nagami, P. (2004). Bitten: True Medical Stories of Bites and Stings. Macmillan.

Litbang Kompas. (2017). “Perlindungan Komodo dari Masa ke Masa” (https://jelajah.kompas.id/terumbu-karang/baca/12-perlindungan-komodo-dari-masa-ke-masa/)

Historia, (3 Nov 2020) “Perlindungan Komodo dari Masa ke Masa”, (https://historia.id/sains/articles/perlindungan-komodo-dari-masa-ke-masa-P1oRE/page/1)



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter