Dalam regim perubahan iklim, khususnya upaya mitigasi, muncul satu istilah “non-carbon benefit” alias manfaat selain karbon. Konsep ini muncul sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat hutan dan organisasi non-pemerintah terhadap konsep pengurangan emisi berbasis lahan dan kehutanan atau yang dikenal REDD yang hanya mengarusutamakan ukuran biofisik semata. Padahal menurut kelompok-kelompok ini, hutan tidak hanya tegakan pohon-pohon. Lebih dari itu, hutan mempunyai nilai sosial, budaya, bahkan politik.
Nilai sosial-budaya, misalnya, hutan membentuk masyarakat yang konsep hidupnya terkait hutan. Seluruh mata rantai hidup mereka berdialog dengan hutan, sehingga karakter budaya mereka diwarnai oleh ekosistem hutan. Demikian halnya dengan nilai politik, dimana hutan memiliki fungsi-fungsi yang mendukung ketahanan politik. Singkat cerita, hutan tidak hanya pohon. Hutan adalah hidup suatu komunitas. Hutan adalah struktur sosial. Hutan adalah pribadi seseorang. Hutan menjadi basis material-spiritual yang membentuk ekologi kehidupan.
Panggilan untuk memaknai hutan lebih dari parameter fisik bukan merupakan gerakan baru. Lama sebelum dunia politik modern terbentuk, sistem sosial masyarakat disusun oleh komponen nilai dan pranata yang merupakan adaptasi terhadap ekologi hutan. Konsep relasi sosial, misalnya, dibentuk oleh dunia yang kelihatan antarmanusia dan dunia yang tak kelihatan seperti peri, roh-roh penunggu mata air, roh penunggu pohon, yang semuanya menentukan cara hidup seseorang dan kelompok masyarakat. Karena itu, mengangkat isu ini dalam dunia perubahan iklim adalah upaya mengungkit kembali narasi tradisi tua dalam cara baru. Tubuh lama baju beda. Keyakinan lama, agama baru. Tradisi lama masih terekam dalam memori kolektif, meskipun struktur sosialnya sudah rapuh.
Meskipun hampir tidak ada yang baru dalam nilai sosial-budaya hutan, perubahan iklim membawa isu baru yakni, karbon. Isu baru ini disandingkan dengan isu lama, non-karbon. Beda dengan konsep hutan yang selama ini dikungkung oleh ukuran fisik, yakni kayu dan non-kayu, karbon dan non-karbon sama-sama abstrak. Kehadirannya menunjukkan suatu transisi pemahaman hutan yang di era modern basisnya material, menuju era baru yang non-material. Karena, siapa yang pernah melihat, meraba, apalagi menebang dan menyimpan karbon dalam truk, selain suatu lelucon geli. Sama halnya dengan tidak ada orang yang pernah membungkus peri-peri hutan dan roh-roh ke dalam karung untuk dipamer.
Buat pegiat isu keberlanjutan, pergeseran pemahaman hutan ke dalam konstruksi karbon dan non-karbon merupakan kabar baik untuk kelestarian. Orang tidak lagi memburu pohon di hutan untuk mendapatkan konversi nilai ekonomi. Tetapi hanya menjalankan tradisi hutan yang menjamin konservasi, di samping menilai hutan dari jasa karbon. Cukup.
Namun, masalahnya tetap ada. Untuk mendapatkan nilai-nilai ini komunitas harus rela ditelisik, diukur, diobok-obok kelembagaannya agar bisa masuk dalam parameter metodologi yang diminta regim global ini. Tanpa itu semua, hutan hanya mempunyai makna karbon. Makna karbon tdak bisa dikerjakan komunitas secara mandiri. Hanya ahli yang dipercaya yang dipandang layak memberikan judgement profesional terhadap hutan. Aroma kontrol pengetahuan menjadi ciri baru yang justru menjauhkan komunitas hutan dari hutan mereka. Yang tadinya bisa diraba, dilihat, saat ini kembali dijauhkan oleh regim pengetahuan.