Banyak ilmuwan menyayangkan ketidakpekaan pembuat kebijakan terhadap perkembangan temuan-temuan sains terbaru. Dalam anggapan para ilmuwan, inovasi sains dapat digunakan untuk membantu perancangan kebijakan yang benar. Meskipun penyesalan itu wajar, kepercayaan terhadap sains, sayangnya, tidak disertai pula oleh pengakuan yang tulus bahwa dunia sains juga tidak dapat menjadi rujukan satu-satunya untuk menjustifikasi kebenaran suatu kebijakan, apalagi memastikan temuan itu sebagai kebaikan bagi manusia. Sains juga memiliki risiko, antara lain ketidakpastian dan bahaya yang seringkali dapat mengancam kehidupan. Karena itu, ilmuwan seharusnya memberikan pandangan yang lebih berimbang antara manfaat sekaligus tantangan sains agar publik, terutama pengambil kebijakan, mengambil keputusan dengan sadar risiko sepenuhnya.
Sudah sering diakui bahwa kehadiran sains banyak menolong berkembangnya peradaban. Tentang hal ini, Niels Bohr dalam opininya tahun 1945 dengan yakin menulis bahwa bahkan dalam dunia dimana studi ilmiah telah menjadi suatu pekerjaan profesional, “…the progress of science and the advance of civilization have remained most intimately interwoven…” [kemajuan sains dan perkembangan peradaban telah terjalin sangat erat].Tesis Bohr nyata dalam sejumlah kemajuan saat ini. Teknologi komunikasi, misalnya, telah menghubungkan milyaran penduduk dunia. Ketersediaan data yang ditawarkan dari teknologi ini telah menolong bisnis untuk lebih efisien.
Studi McKinsey tahun 2020 mengemukakan bahwa selain mengefisienkan keseluruhan biaya, kehadiran teknologi pendataan menginformasikan peluang aplikasi teknologi pada bagian lain perusahaan yang membantu mengurangi biaya (Grande et.al. 2020). Di beberapa organisasi, praktik semacam itu dapat menekan biaya pengadaan hingga 10 %. Mengambil contoh industri manufaktur rumah tangga di Eropa, studi itu mengemumakan bagaimana perusahaan itu mengaplikasikan teknologi data untuk memindai lebih dari 12 juta invoice dari 5000 penyedia dan mengidentifikasi peluang untuk mengurangi biaya hingga 7.8 % (Grande et.al. 2020). Tentu banyak kajian lain yang memperlihatkan keuntungan dari perkembangan sains dalam peradaban modern. Dalam dunia medis, misalnya, teknologi bedah membantu meringankan pekerjaan dokter. Demikian halnya dengan transportasi, pertanian, kelautan, cuaca, dan seterusnya.
Namun, sains juga tidak selalu membawa berkah. Penemuan nuklir dan pengembangannya menjadi senjata melalui proyek Manhattan selalu dikenang sebagai salah satu kemajuan besar sekaligus risiko amat mematikan dalam sejarah manusia. Hiroshima dan Nagasaki adalah contoh pilu cerita ini. Hanya dalam sekian detik 199.000 penduduk mereka lenyap. Risiko itu masih membayang-bayangi dunia dewasa ini. Tidak hanya nuklir. Teknologi lain pun tak kurang risikonya.
Perkembangan biologi, misalnya, mulai menunjukkan perkembangan yang melampaui batas moral. Kloning monyet di China yang diumumkan baru-baru ini tidak hanya meresonansi debat etika ke tengah pentas tetapi juga memproyeksikan risiko politik yang amat serius terutama bagi kandidat penguasa diktator di masa depan. Andai saja kloning dibuat untuk menciptakan serdadu tempur yang tak kenal rasa sakit dan takut, dunia akan jadi arena pertempuran brutal berikutnya.
Teknologi rekayasa genetika pada produk pertanian melalui tanaman GMO (genetic modified organism) juga menunjukkan tanda-tanda kontaminasi tanah, mutasi tanaman dan hewan pengganggu serta berkurangnya keanekaragaman hayati (Acker et.al., 2017). Para ahli mencatat, terdapat 37 spesies gulma yang toleran terhadap glifosat (senyawa pembasmi gulma) di seluruh dunia yang merampok lahan pertanian dan pada akhirnya meningkatkan biaya pertanian. Perkembangan yang sama terjadi untuk hama serangga yang makin resisten terhadap berbagai jenis pestisida.
Belum lagi, proses GMO sarat dengan politisasi temuan yang dikenal dengan skandal Pusztai dan Séralini. Dua peneliti beken ini dihajar habis-habisan terhadap temuan mereka yang mengindikasikan dampak GMO terhadap kesehatan. Paper Pusztai diterbitkan Lancet, salah satu jurnal bereputasi internasional. Paper itu direview oleh 6 peer yang biasanya hanya 3. Lima di antaranya setuju untuk diterbitkan, hanya satu yang menolak. Namun, paper itu menjadi dikepung kritik yang sebagian besar tak berdasarkan data pembanding. Tidak hanya paper itu yang ditentang keras, sang penulis harus kehilangan pekerjaan dan karier-nya. Publikasi berikutnya adalah paper Séralini dalam International Journal of Biological Sciences. Paper ini pun diserang habis-habisan, bahkan dipaksa untuk ditarik dari jurnal itu. Editor jurnal yang disudutkan sedemikian rupa, menyerah dan akhirnya dipaksa menurunkan artikel itu. Tentang pertikaian ini dapat dilihat ringkasannya dalam artikel Sheldon Krimsky (2015).
Menurut saya pengakuan semacam itu sangat penting agar pengambil kebijakan tidak diiming-imingi oleh suatu kesadaran palsu seolah-olah sains mengatasi segalanya. Ironisnya, ketika sains salah atau tidak sepenuhnya mampu menjawab persoalan, pengambil kebijakanlah yang dikecam publik. Acapkali, kegalauan atas kegagalan itu juga menambah keresahan terhadap kebenaran yang ditawarkan ilmu pengetahuan. Sebagai alternatif, orang menghidupkan kembali harapan individual atau komunal terhadap sistem keyakinan sosial seperti agama atau tradisi yang seringkali mati suri karena dibayang-bayangi oleh harapan yang terlalu tinggi pada sains.
Sayangnya, ketika sains yang tidak pasti itu bergandengan dengan kebijakan publik maka pengaturan dan implikasinya diharuskan pasti. Masalah moralitas publik muncul, karena perbedaan nilai yang ekstrim terjadi dari sana. Sains yang memberikan peluang pada pilihan dan keraguan dikonversi menjadi mutlak oleh politik. Risikonya adalah paksaan dan sanksi bagi warga. Secara etis, tentu patut dipertanyakan. Ketika orang diberi sanksi oleh suatu kebijakan yang bersandar pada temuan sains yang tidak pasti, apakah sanksi tersebut berlandaskan suatu argumen moral yang benar. Bukankah sanksi adalah suatu pilihan untuk mengembalikan orang pada kesadaran akan moral yang dipandang benar. Jika dasar pengenaan sanksi pada publik bersumber dari argumen sains yang labil, maka politik sekonyong-konyong memiliki preseden untuk menggunakan alasan yang tidak pasti sebagai ukuran untuk mengendalikan kehidupan bersama. Bukankah semua watak totaliarian mendambakan kontrol semacam itu, yakni otoritas yang mutlak, tidak perduli dasar kebenarannya.
Selain itu, masih banyak ukuran lain yang perlu dipertimbangkan di samping sains. Misalnya, etika, kebaikan moral, keberpihakan pada yang lemah, dan seterusnya.
Referensi
Bohr, N. (1945). Science and civilization. The Times, 11, 123-124.
Network, C. B. A., Slater, A., Martynkiw, V., & Rehn, T. (2015). Are GM crops better for the environment?. GMO Inquiry 2015 (https://cban.ca/wp-content/uploads/Are-GM-crops-better-for-the-environment_-E-web.pdf)
Krimsky, S. (2015). An illusory consensus behind GMO health assessment. Science, Technology, & Human Values, 40(6), 883-914