Pulau Flores secara umum dikenal sebagai pulau kering, meskipun jika ditelusuri lebih detail, karakter iklimnya relatif dinamis di sepanjang lansekap pulau. Bagian barat pulau ini beriklim agak basah. Sementara bagian tengah hingga timur beriklim kering.
Berbeda dari pulau-pulau besar yang mengandalkan sungai, mata air adalah topangan utama dari masyarakat di Pulau Flores untuk mendapatkan air bersih. Di Manggarai yang sebagian iklimnya agak basah, peran mata air pun penting. Karena itu, mata air memiliki sistem pengaturan kolektif. Dalam banyak kasus, jika volume airnya cukup besar dan debitnya berlangsung stabil sepanjang tahun, sumber yang sama dipakai untuk menopang pertanian sawah pada bulan-bulan kering.
Sumber Daya Komunal
Ekosistem mata air di berbagai kampung di Manggarai disebut Pong yakni sebuah wilayah tempat mata air muncul. Radius beberapa meter di sekitar sumber mata air itu dipertahankan sebagai tutupan hutan dan ditetapkan oleh adat sebagai wilayah komunal. Karena itu, warga dilarang membuka lahan di wilayah Pong untuk pertanian atau penggunaan lainnya.
Dari semua sumber daya komunal yang ada seperti hutan, padang penggembalaan, dan laut, barangkali ekosistem mata air adalah satu-satunya sumber daya komunal yang masih belum dibuka untuk kepentingan pribadi masing-masing warga saat ini. Hutan dan padang penggembalaan telah disesaki klaim individual. Sementara laut dipatok-patok oleh properti industri pariwisata. Karena itu, watak pengelolaan mata air, khususnya Pong di Manggarai konsisten dengan teori “the commons” yang disebut sebagai common pool resources (CPR) atau sumber daya bersama .
Dalam kategori hak komunal, mata air diatur untuk memberikan manfaat yang sama kepada setiap warga kampung. Umumnya, ekosistem mata air ditetapkan sebagai wilayah sakral yang tidak boleh diganggu. Sejumlah norma diterapkan dan bentuk perilaku ditetapkan untuk melindungi mata air. Sebuah lembaga adat secara khusus mendapat peran untuk menjaga aturan tersebut agar ditaati. Sistem tersebut mencegah penguasaan pribadi terhadap sumber daya ini. Selain itu, pelanggaran individu diikuti sanksi yang tegas dari lembaga adat maupun desa. Karena itu, banyak Pong di Manggarai yang masih bertahan sebagai sumber daya komunal hingga saat ini.
Pengelolaan secara komunal mengindikasikan bahwa komunitas memiliki mekanisme yang efektif dalam mengendalikan perilaku individu. Sistem yang sama mempunyai daya tahan menghadapi turbulensi perkembangan komunitas yang umumnya berkarakter terbuka terhadap pengaruh jaman. Masyarakat membuka diri terhadap kriteria dan definisi ekonomi baru yang seringkali mengalihkan mereka dari sistem pertanian tradisional ke bentuk baru penggunaan lahan. Perubahan-perubahan itu nampak pada pengelolaan hutan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, hutan alam pegunungan dan sub-pegunungan telah dibuka warga untuk berbagai jenis tanaman hortikultura dan perkebunan. Meskipun menimbulkan kerisauan ekologis, kontrol komunal atas hutan telah digantikan oleh penguasaan negara yang harus diakui efektivitasnya minim.
Dalam pengertian sumber daya bersama, aturan kerja (rule-in-use) komunitas secara aktual digunakan sejalan dengan tradisi oleh lembaga-lembaga adat maupun setiap warga kampung. Aturan kerja tersebut menghasilkan tindakan aktual yang nampak pada masih utuhnya ekosistem mata air di banyak kampung hingga hari ini.
Namun, sistem komunal penguasaan mata air merupakan inovasi endogen yang secara dominan dibentuk untuk memberikan solusi atas interaksi internal komunitas pada waktu yang lampau. Sistem itu masih bertahan sejalan dengan perkembangan struktur internal maupun eksternal yang relatif stabil. Hingga penghujung 1990an, kehadiran aktor-aktor luar, kalaupun ada, berlangsung lambat dan pengaruh mereka masih sejalan dengan prinsip-prinsip tradisional pengelolaan mata air. Karena itu, riak-riak yang menantang kelembagaan tradisional mata air lebih banyak berasal dari internal komunitas. Warga ingin menambah luas lahan karena tergiur oleh kehadiran komoditas lukratif seperti kopi, cengkih, vanili.
Pasca 2000an, kehadiran aktor luar lebih intensif. Mimpi ekonomi baru difasilitasi oleh perubahan regim politik yang memberikan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk membuka lebar pintu investasi di daerah. Mereka membawa tambang, infrastruktur, dan sejenisnya yang hampir tidak pernah dikenal dalam memori komunitas. Alhasil, struktur lokal baik pada tingkat pemerintah maupun komunitas berjuang mengadaptasikan diri terhadap situasi baru tersebut. Sistem pengelolaan mata air pun demikian. Kecenderungan untuk mengkompromikan tata nilai dan sikap terhadap kelembagaan mata air mulai nampak di berbagai wilayah.
Goncangan Internal
Meski masih dipertahankan sebagai sumber air, dalam 15 tahun terakhir, tantangan internal makin intensif seiring dengan meningkatnya populasi dan tawaran komoditas baru. Secara internal, sumber daya komunal berkontestasi dengan penggunaan lahan privat yang persis berada di luar ekosistem kecil mata air. Hak privat A, B, C pada ilustrasi adalah kawasan frontier dari sistem properti yang berbatasan langsung dengan wilayah ekosistem mata air. Penggunaan lahan pribadi di titik batas itu tidak berbeda dengan keleluasaan yang dimiliki pengguna lahan pribadi lainnya. Pemilik dapat menggunakannya untuk lahan pertanian dan alokasi lainnya yang tidak diatur secara tegas atau wilayah abu-abu dalam pengaturan komunal.
Di beberapa kampung, para pemilik di lokasi-lokasi itu bertutur bahwa pada 1970, lahan di sekitar mata air didominasi oleh tanaman pangan. Namun seiring dengan makin terbukanya komunitas dengan produk pasar, maka jenis tanaman pada lahan-lahan petani saat ini setiap waktu ternegosiasikan dengan permintaan pasar. Banyak di antara pemilik tanah menanami lahan mereka dengan kopi, cengkeh, vanili yang merupakan komoditas pasar.
Ilustrasi
Lahan subur di sekitar ekosistem kecil ini sangat memungkinkan untuk tanaman-tanaman ini tumbuh. Beberapa kasus menunjukkan para pemilik hak mulai berani membuka frontier untuk tanaman pasar. Bahkan beberapa di antaranya melanggar kesepakatan kolektif dengan menerobos masuk ke wilayah mata air. Iming-iming keuntungan memengaruhi secara langsung tindakan sosial, sementara kepercayaan, kerja sama sosial, dan nilai-nilai lainnya yang melekat dalam tradisi mulai dilupakan.
Secara internal, sumber daya bersama berada dalam titik kritis pengaturan kolektif. Pengaturan tradisional nampaknya belum mempertimbangkan tekanan-tekanan baru. Aturan internal komunitas hanya mengatur secuil wilayah ekosistem mata air, termasuk tanaman pelindung yang dianjurkan disana. Komunitas tidak pernah mengatur tata kelola penggunaan lahan pemilikian pribadi yang mengitari eksosistem air. Misalnya, jenis pemanfaatan atau tanamannya. Tidak pula melarang mereka untuk mengalihkan hak ke sesama warga kampung atau ke pihak luar.
Tata kelola yang berusia ribuan tahun belum banyak berubah hingga hari ini. Sebagian nilainya yang bertaruh pada kepercayaan dan kerja sama tidak cukup menghadapi turbulensi internal komunitas yang dikepung hasrat pasar.
Goncangan Tambang
Tekanan lain yang lebih serius adalah konsesi skala besar pertambangan yang beroperasi atas tekanan pasar global yang difasilitasi oleh kebijakan pusat. Tambang adalah sektor yang membawa wacana kemakmuran bagi daerah sekaligus mendukung pembangungan nasional. Karena itu, tambang adalah sumber daya yang powerful berhadapan dengan sumber daya kolektif di tingkat lokal.
Overlapping mata air dan IUP Mangan Manggarai
Data pribadi
Di beberapa tempat, orang manggarai sendiri ikut berpartisipasi dalam mengalihkan penggunaan lahan dari penguasaan oleh warga maupun komunal menjadi izin tambang. Beberapa konsesi ini memasukan mata air dalam IUP mereka. Secara hukum, pemegang konsesi IUP pertambangan tentu saja berhak untuk sewaktu-waktu mengalihkan mata air itu menjadi tambang. Apalagi, tidak ada standar yang mewajibkan pertambangan mangan untuk mengecualikan mata air, sejauh wilayah itu telah dimasukkan dalam IUP Operasional.
Penggunaan lahan untuk tambang dilegitimasi oleh kekuasaan politik dan dibungkus wacana kemakmuran. Dukungan kebijakan nampak dalam kekuatan regim pertambangan yang digdaya mengabaikan fungsi-fungsi lain dalam pengaturan ruang. Seperti nampak pada peta, mata air di kampung-kampung (titik merah pada peta) telah masuk dalam wilayah konsesi IUP Mangan. Kehadiran tambang diasosiasikan dengan konsep kemakmuran. Tambang dikatakan membawa uang banyak yang menggiurkan, tidak hanya bagi pengambil kebijakan lokal, tetapi juga warga-warga di kampung. Narasi tambang yang menyusup ke kerangka pikir warga kampung adalah hidup yang lebih baik.
Belakangan ini banyak informasi baru yang mengindikasikan masalah lingkungan dan penderitaan sosial akibat tambang. Namun wacana yang secara kuat menghidupi cara berpikir warga adalah kenikmatan ekonomi yang dibayangkan (imagined prosperity) yang jauh lebih kuat dan lebih lama mendahului narasi ekologis. Bosan hidup miskin adalah frasa yang berulang-ulang mereka utarakan dan secara singkat menunjukkan mimpi itu. Karena itu, tidak ada pengertian sosial mengenai “hidup yang lebih baik”, selain indikator ekonomi dan politik yang menunjukkan kekayaan dan kekuasaan. Dalam dua indikator itu, hidup lebih baik adalah hasrat yang mendarah daging. Di dalamnya terimplisit makna harga diri, prestise, dan kelas sosial baru yang menjadi impian individual tiap orang, sekaligus impian kaum terdidik dari wilayah ini. Sama seperti wilayah lainnya, perantau membawa keinginan menggebu untuk mencapai imajinasi kolektif mengenai hidup yang lebih baik.
Keinginan untuk kaya dan mempunyai kekuasaan selain merupakan adaptasi terhadap ukuran luar seperti terimplisit dalam “the will to improve” Tania Murray Li, tetapi dalam kasus Manggarai merupakan akumulasi dari perasaan kolektif yang terpinggirkan dan beresonansi dengan keterasingan individual dari akses-akses pembangunan yang hanya bisa dibayangkan. Perasaan semacam itu adalah buah dari pembangunan yang timpang. Karena itu, negosiasi ulang terhadap properti komunal maupun hak-hak privat sangat mungkin dilakukan untuk memenuhi hasrat tersebut.
Dalam dialog sehari-hari dengan banyak tokoh komunitas, ukuran kemakmuran menurut mereka tidak lagi ada pada pembawa pesan luar seperti propaganda pejabat pemerintah atau LSM. Hasrat untuk lebih baik telah melekat dalam kepala, acapakali lengkap dengan ukurannya, seperti listrik, jalan, sekolah, kesehatan, kendaraan pribadi, rumah yang baik, uang banyak.
Wacana itu bergeming dan mengabaikan hampir sepenuhnya aspek ekologis. Bahkan ketika pertambangan tidak berkontribusi sepeser pun untuk daerah, wacana kemakmuran masih dominan. Ketika tambang hanya mengambil 1-2 warga lokal untuk buruh kasar, wacana kemakmuran tambang tetap berpengaruh hebat.
Tranformasi kesepakatan kolektif
Kesepakatan kolektif merupakan warisan tradisi yang masih bertahan untuk mengendalikan kemelut internal maupun tekanan dari luar. Warga kampung terutama yang berbatasn dengan ekosistem mata air menahan keinginan untuk mendapatkan net benefit dengan patuh pada kesepakatan kolektif. Komunitas yang masih berkerabat dan punya ikatan sejarah kolektif masih mengelola integritas sosial, terlepas dari goncangan berulang terutama akibat kompetisi dalam politik lokal (Kabupaten dan Desa) belakangan ini. Ikatan di antara mereka diharapkan menjadi tumpuan untuk bertahan dan mengatasi krisis sumber daya secara kolektif.
Namun tekanan penggunaan lahan tambang dapat memporakporandakan kelembagaan tua itu. Kekuatan politik dan kebijakan yang dimiliki tambang tidak hanya menggoyahkan pegangan kolektif tetapi juga mengabaikannya. Beberapa contoh dari kasus pertambangan yang ada membuktikan dengan gamblang, bahwa kehadiran tambang telah melululantakkan rumah tangga mufakat dalam pengelolaan sumber daya bersama. Perlindungan mata air adalah salah satunya.
Dukungan kebijakan
Manggarai sudah memiliki Peraturan Daerah Perlindungan Mata Air. Namun Perda tersebut masih belum membawa transformasi pengelolaan mata air, terutama menghadapi guncangan tata kelola sumber daya di tingkat komunitas. Substansinya pun masih minim dalam memfungsikan dan memperkuat peran kelembagaan lokal dalam penataan mata air. Karena itu, kebijakan pemerintah pusat maupun daerah harus mampu melindungi dan mentransformasi kesepakatan lama dengan menambahkan kriteria baru.
Substansi kebijakan harus mempertimbangkan sejumlah hal berikut:
- Kesepakatan perlindungan ekosistem mata air, termasuk penggunaan lahan yang mengitari ekosistem tersebut agar menyediakan penopang dengan menghindari penggunaan lahan yang eksploitatif.
- Insentif dapat diberikan bagi para pemilik lahan di sekitar ekosistem mata air, dengan mempertimbangkan situasi sosial seperti kecemburuan sosial dan moral hazard yang mensimplifikasi nilai ekosistem dan kultural menjadi moneter. Karena itu, insentif tidak harus berupa uang tunai.
- Mencegah pemberian konsesi yang merusak ekosistem mata air dan penyokongnya, antara lain: konsesi yang merusak bentang alam, tutupan hutan, polusi pada air tanah.
- Menyediakan data dan informasi titik-titik mata air masing-masing kampung baik informasi spasial maupun volume dan debitnya serta jumlah penduduk yang ditopang tiap tahun
- Menetapkan perlindungan dan penguatan kelembagaan mata air sebagai sumber daya komunal melalui kebijakan perencanaan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kasus Manggarai merupakan salah satu contoh dari banyak kasus lain di berbagai daerah. Karena itu, upaya kebijakan seharusnya bukan hanya merupakan tanggung jawab daerah. Apalagi undang-undang Cipta Kerja telah mengalokasikan tanggung jawab terhadap daerah aliran sungai, cekungan air tanah dan ekosistem pendukungnya berada di tangan Provinsi. Dalam hal ini, provinsi sebagai perpanjangan tangan Pusat di daerah, dapat mengambil tindakan aktif untuk melakukan upaya kebijakan dan program perlindungan mata air di masing-masing wilayah.
Kalaupun alasan kewenangan tidak cukup atau belum jelas, alasan aktual bahwa air adalah kebutuhan dasar yang daya dukungnya terus merosot akibat penggunaan lahan eksploitatif dan tekanan perubahan iklim harusnya cukup untuk bertindak.