Pabrik Semen dan Daya Dukung Lingkungan Manggarai

Seperti ramai diberitakan sejumlah media, Gubernur NTT bersama Bupati Kabupaten Manggarai Timur berencana memberikan izin tambang batu gamping di Kampung Lengko Lolok dan pabrik semen di Kampung Luwuk di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur untuk PT Istindo Mitra Manggarai dan Grup Semen Singa Merah (Peta 01). 

Usulan ini, selain mempunyai risiko dampak sosial, juga berhadapan dengan indikasi bahwa wilayah itu merupakan bagian dari ekosistem karst flores dan cekungan air tanah produktif yang menurut sejumlah peraturan perundang-undangan patut dilindungi. 

Peta 01: IUP PT Istindo Mitra Manggarai

Sumber: Onemap ESDM

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap rencana tersebut dengan mempertimbangkan daya dukung ekologis di lokasi usulan tambang dan pabrik. Tujuannya adalah agar perhitungan daya dukung sungguh-sungguh diperhatikan dalam rencana kebijakan pembangunan, terutama usaha ekstraktif seperti pertambangan. Yakni agar kebijakan pemanfaatan ruang berada dalam batas-batas dukungan lingkungan. 

Daya dukung lingkungan

Daya dukung, selain diwajibkan dalam analisis untuk perencanaan ruang juga memberikan terang bahwa pembangunan ada batasnya. Bukan karena minimnya kapasitas manusia, tetapi alam ini pada hakikatnya diciptakan dengan batas tertentu. Herman Daly, salah satu pencetus utama ekonomi lingkungan lebih lanjut mengatakan bahwa seandainya batas-batas biofisik pun memungkinkan, dimensi sosial-etik adalah batas yang tidak bisa diterobos begitu saja. Implikasinya terlalu serius untuk kemanusiaan yakni ketidakadilan bagi generasi berikut, kehancuran habitat alamiah, ambiguitas konsep kesejahteraan dan degradasi moral kolektif (Daly 1987, 1990). Manusia diharapkan tidak bergerak melebihi batas itu, jika ingin pembangunan tidak berbuah bencana. 

Sejumlah studi terbaru telah menelusuri lebih lanjut tesis ekonomi lingkungan dengan menariknya dalam konteks krisis lingkungan global, yakni perubahan iklim. Dikatakan bahwa ekosistem mikro tidak terlepas satu sama lain. Mereka bertautan menentukan ekosistem makro. Sebaliknya, perubahan pada sistem makro yakni iklim, akan mengubah seluruh tatanan ekosistem mikro. Lance Gunderson dkk menyebutkan dalam suatu istilah yakni panarky (Gunderson, 2001). Yaitu bahwa sistem bumi ditopang oleh berbagai sub-sistem, dan sub-sistem didukung oleh sub-sistem berikutnya, dan seterusnya hingga ekosistem yang sangat mikro seperti rantai makanan, bahkan hidup seekor binatang maupun seorang manusia. Perubahan pada sistem bumi berjalan sangat lambat, sementara sub-sistem mikro di tingkat regional bergerak lebih cepat yang memicu perubahan lebih cepat pada sub-sistem berikutnya yang lebih mikro.

Konsep daya dukung dan panarky menggarisbawahi satu tesis utama perkembangan studi ekologi, bahwa intervensi pada satu ekosistem mikro, tidak bisa dipandang hanya berpengaruh lokal. Tetapi melampaui batas administrasi. Karena itu, berbanding terbalik dari izin, pengaruh tindakan manusia pada ekosistem bersifat lintas wilayah dan multidimensional. Sehingga, ekosistem tidak bisa ditaruh dalam piring percobaan tanpa proyeksi dampak yang luas, apalagi jika hal itu hanya atas kepercayaan tanpa dasar bahwa tindakan tertentu itu seolah-olah berefek minor. 

Daya Dukung Ekosistem Karst 

Penggunaan semen diproyeksikan tetap akan meningkat karena urbanisasi dan pembangunan ekonomi yang menaikkan permintaan bahan bangunan dan infrastruktur baru. Agenda China membangun jalur sutra modern meningkatkan secara drastis permintaan semen global. Di samping pertumbuhan ekonomi yang akan diraih, hal ini juga menjadi tantangan bersama dunia menuju pengurangan emisi sebelum diharapkan memuncak pada 2030. 

Sumber utama bahan semen Indonesia saat ini adalah pengerukan batu kapur yang mencapai 87.4 % (Nur et al, 2015). Jumlah ini tidak menunjukan pengurangan seiring dengan laju pertumbuhan industri semen yang terus bertambah pasca membesarnya investasi China pada sektor ini. Wilayah bagian timur Indonesia merupakan cadangan karst terbesar  (Satar 2017). Selain mempunyai potensi pariwisata, karst yang sama menjadi target investasi semen di masa depan. 

Secara global ekosistem karst mencapai lebih dari 10 % ekosistem daratan (Zhao et al 2020). Karst adalah formasi geologis yang terbentuk oleh bahan kimia (peleburan batu kapur, dolomit dan gipsum) dan proses fisik (erosi air, dan disagregasi) Ford dan Williams, 2007; LeGrand, 1973 dikutip Zhao et al 2020). Fungsinya yang unik jarang diperhatikan meskipun sejumlah literatur menyebutkan bahwa satu kawasan karst bisa memberikan 30 mata air (LIPI 2017).

Dalam perkembangan belakangan ini, daerah karst adalah daerah yang rentan terhadap degradasi lahan sebagai akibat dari berkurangnya tutupan vegetasi (Ford dan Williams, 2007; LeGrand, 1973 dikutip Zhao et al 2020). Kerentanan terhadap degradasi ini memiliki dampak penting pada populasi yang tinggal di dalamnya, terutama di negara-negara berkembang (Yan dan Cai, 2015 dikutip Zhao et al 2020). Karakteristik tunggal kawasan karst meningkatkan kerentanannya terhadap dampak aktivitas manusia, terutama dalam konteks sosial ekonomi di mana permintaan akan sumber bahan baku (antara lain semen) tumbuh pesat, sementara dampak degradasi lahan terlihat jelas. Daerah-daerah karst ini sangat rentan terhadap bencana iklim dan tekanan akibat pemanfaatan lahan oleh manusia (LeGrand, 1973; Wang et al., 2004; Yue et al., 2012). 

Sejumlah studi menyebutkan bahwa meskipun dampak iklim tidak berkontribusi signifikan terhadap 58,24 % vegetasi wilayah kart di dunia, karst wilayah ekuator adalah bagian dari 7,45 % wilayah karst dunia yang vegetasinya sangat terpengaruh oleh faktor iklim (Zhao et al 2020). Singkatnya, berbeda dengan sebagian besar wilayah karst lainnya, faktor iklim justru sangat berpengaruh terhadap vegetasi karst di Indonesia yang berada di garis ekuator. Hal ini diperkuat oleh studi lainnya dari Luhua Wu dkk (2020), bahwa perubahan iklim melemahkan efek positif ekosistem karst terhadap produktivitas vegetasi di wilayah-wilayah yang seharusnya ditopang. 

Hadirnya pabrik semen pada kawasan karst tentu menambah beban tambahan pada ekosistem dimaksud, di samping perubahan iklim. Studi di beberapa karst di China maupun yang terjadi baru-baru di Jawa Tengah menunjukan daya dukung karst untuk aspek hidrologi (tata air) semakin goyah ketika intervensi manusia cenderung merusak (Keller and Klute 2016). 

Selain itu, pencemaran lingkungan lingkungan menjadi keprihatinan khusus dengan mempertimbangkan sejumlah kasus yang sedang berlangsung di beberapa tempat. Misalnya, Pabrik Semen Maruni atau PT SDIC di Kab Mansel diindikasikan menimbulkan pencemaran udara. Setelah empat tahun beroperasi, tanur pabrik tersebut menyebarkan asap pekat ke warga sekitar. Komplain telah diajukan oleh masyarakat sekitar lokasi. PT SDIC ini adalah anak perusahaan Anhui, salah satu pemain besar dalam industri semen China.

Cerita lain berasal dari Aceh. Di Lhoknga, Aceh warga memprotes PT Lafarge Cement Indonesia (PT LCI) yang didugamembuang limbah pabrik ke sungai. Akibatnya sungai Kreung Bale, Desa Moniken, Kecamatan Lhoknga tercemar yang terlihat dari warnanya yang kehitaman dan permukaan air yang berminyak.

Pabrik semen seperti halnya pabrik olahan tambang lainnya memang tidak sepenuhnya bersih. Meski telah mempromosikan inisiatif pengurangan emisi (Lehne and Preston, 2018), sebagian dari limbah pabrik belum bisa didaur ulang. Dalam studi dampak lingkungan industri semen terhadap agenda pembangunan berkelanjutan, Weiguo Shen dkk (2017) menuliskan bahwa terdapat limbah yang belum terurai, antara lain SOx, CO2, NOx, debu, logam berat, buangan padat. 

SOatau sulfur dioxida dan NOx atau asam nitrat yang keluar dari tanur pabrik adalah zat yang sangat korosif. Proses alamiah pergerakan udara membawa zat-zat ini naik ke gunung dan lambat laun terakumulasi lalu turun kembali dalam bentuk hujam asam. Dampaknya akan merusak hutan, pertanian, bahan-bahan logam akan berkarat. Lanjutannya adalah produktivitas tanaman akan punah. Logam berat yang dibuang ke dalam air tidak akan bisa dipulihkan lagi. Jika polutan itu masuk ke rantai makanan dampak berikutnya adalah proses biomagnifikasi yaitu proses perpindahan polutan yang mengikuti arah dari rantai makanan yang akhirnya akan terakumulasi pada rantai makanan paling atas yaitu manusia (Rames et al., 2014, Adeyanju 2019). Hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, antara lain mengakibatkan kelahiran cacat bagi bayi. Efek ekologis pasti luas dan lintas batas. Isu seperti ini, sayangnya, jarang dikemukakan dalam rencana investasi, bahkan tidak terekspos dalam AMDAL. 

Selain itu, kebutuhan air pabrik semen relatif tinggi. Sejumlah literatur menyebutkan kebutuhan air pabrik dan tambang batu gamping berada di antara 150-400 liter/ton klinker. Di wilayah berekosistem kering, konsumsi sebanyak itu akan mengalahkan kebutuhan utama warga sehari-hari. 

Kasus Pabrik Semen di Karst Flores

Peta 02: ekoregion karst 

Sumber: KLHK

Sebagaimana diberitakan, PT Istindo Mitra Manggarai mengajukan IUP tambang batu gamping dan pabrik pabrik seluas 599 ha. Saat ini statusnya masih berupa izin eksplorasi hingga Maret 2021. Usulan ini persis beririsan dengan lokasi tambang mangan seluas 736.30 ha yang dimiliki oleh PT Istindo Mitra Perdana yang saat ini berhenti beroperasi karena SK Moratorium Tambang yang dikeluarkan oleh Gubernur NTT Victor Laiskodat tahun 2018. Sayangnya, Gubernur yang sama pula yang mengeluarkan izin eksplorasi tambang batu gamping, tanpa disertai pertimbangan ekologis. Dua perusahaan ini terdaftar atas pemilik yang sama. Sehingga kalau disatukan, luas dua lokasi itu mencapai 1.335,3 ha. Tumpang tindih dua wilayah izin ini menimbulkan pertanyaan sekaligus prasangka bahwa potensi mangan di lokasi tambang batu gamping akan ikut dikeruk. 

Lokasi pabrik semen di Manggarai Timur seperti digambarkan pada Peta 01 dan 02 direncanakan berada di kawasan ekoregion karst flores yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018 melalui Keputusan Menteri Nomor : SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018. Menurut peta ini Flores memiliki empat tipe ekoregion, yakni: pegunungan struktural (warna ungu), vulkanik (warna marun), karst (warna abu) dan fluvial (biru langit). 

Ekoregion dominan di Flores adalah struktural dan vulkanik. Sementara ekoregion minor adalah karst dan fluvial. Dua ekosistem terakhir ini hanya berada di wilayah Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada. Letak perbukitan karst dan dataran fluvial yang relatif berdampingan menunjukan bahwa suplai air yang kaya di dataran fluvial ditopang oleh ekosistem perbukitan karst. Keduanya pada dasarnya menunjukan korelasi ekologis yang saling menopang, dimana daerah karst adalah regulator yang mengontrol suplai air yang kaya bagi dataran fluvial. 

Dua ekosistem ini hanya berada di wilayah Manggarai dan sebagian Kabupaten Nagekeo. Letak perbukitan karst dan dataran fluvial yang relatif berdampingan menunjukan bahwa suplai air yang kaya di dataran fluvial Riung Barat ditopang oleh ekosistem perbukitan karst yang membentang dari Manggarai Barat, Manggarai, hingga Manggarai Timur dan Nagekeo.

Pada kenyataannya, wilayah ini kaya dengan air. Wae Wina di Gua Cing Coleng, misalnya, merupakan salah satu sungai bawah tanah terpanjang di Indonesia saat ini (kurang lebih 3 kilo meter). Sebelah timur di wilayah Riung, terdapat salah satu DAS utama NTT, DAS Aesesa, meskipun belakangan ini pun sudah mengalami tekanan serius (Pujiono dan Setyowati, 2015). 

Selain Aesesa di sebelah timur yang merupakan salah satu DAS utama NTT, identifikasi di beberapa tempat pada kawasan ini menemukan sekurang-kurangnya 27  mata air dan sungai setempat yang digunakan secara rutin oleh warga yakni: Wae Buka, Wae Lokom, Wae Cimpar, Wae Ngkongo, Wae Cabet, Wae Balus, Wae Karot, Wae Paci, Wae Kolang, Wae Wodong, Wae Luju, Wae Cingcoleng, Wae Nenda, Wae Bumbu, Wae Gumbang, Wae Wene, Wae Wego, Wae Sosor Alo, Wae Wunut, Wae Nuling, Wae Rokat, Wejang Juli, Wejang Dalit, Wae Kebong, Wae Naong, Wae Togong, Wae Lampang.

Proyeksi Dampak Pabrik Semen

Turbulensi pada eksosistem karst  sebagai pengatur tata air akan sangat mengganggu suplai air yang ada di dataran fluvial. Namun dampak pertama akan dirasakan oleh warga sekitar lokasi pabrik yang bisa berupa terganggunya mata air. Sejumlah studi karst mengkonfirmasi hal ini. Proyeksi pada ekosistem karst di Jawa, misalnya, menyebutkan gangguan pada ekosistem karst dapat berupa kekeringan pada dataran fluvial atau banjir hebat ketika musim hujan (Falah et al 2017). Hal ini disebabkan karena peran karst sebagai pengendali terganggu atau bahkan musnah oleh pertambangan. Falah dkkk menemukan bahwa bahkan proses reklamasi yang paling baik pun gagal untuk mengembalikan separuh dari nilai kemampuan batu gamping yang masih asli dalam menyerap air hujan. Selain menurunnya kemampuan dalam menyerap air hujan, dampak lainya adalah terjadinya hujan asam akibat penggunaan batubara dalam skala besar pada proses pengolahan batu gamping. 

Masalah air, gagal panen dan kekeringan telah diindikasikan juga oleh peta SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan) yang dikeluarkan oleh KLHK tahun 2016. Dalam peta tersebut, di NTT terdapat tiga wilayah yang sangat rentan yakni Manggarai Timur dan sebagian Nagekeo bagian barat, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan (warna merah tua pada peta). Hal ini merupakan akumulasi dari sejumlah bukti bahwa keterpaparan dampak perubahan iklim sangat tinggi di wilayah-wilayah ini. Sensitivitas lingkungan disana juga tinggi yang mengakibatkannya rentan terhadap gejolak iklim. Di samping itu, kapasitas adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim terhitung rendah. Sehingga menyulitkan warga untuk mencari alternatif menghadapi krisis iklim. 

Peta 03: Rentan iklim NTT

Sumber: KLHK SIDIK 2016

SIDIK juga menginformasikan bahwa di Manggarai Timur tercatat 20 desa yang sangat rentan dan 101 cukup rentan akibat perubahan iklim. Indikatornya antara lain kekurangan air bersih, longsor, kekurangan pangan. Peristiwa-peristiwa ini memang kerap terjadi dalam beberapa tahun ini. Tahun 2019, Media Indonesia melaporkan ribuan warga dari kelurahan Ulung Baras, Kampung Nongol, Wae Taso, dan Kampung Golo Ponto, Kecamatan Sambi Rampas terus mengalami krisis air bersih semenjak bergabung dengan Kabupaten Manggarai Timur (Media Indonesia 5 Oktober 2019). Pada tahun 2019, pertanian sawah di sejumlah wilayah Manggarai Timur meranggas kering. Tercatat Lingko Lanar Desa Bulan, Lingko Nugi, dan Lingko Meler 80 % lahan pertanian sawah ditinggal warga karena kekeringan (Vivanews, 6 September 2019). 

Kecenderungan data-data di atas dalam perspektif satuan bentang alam harusnya menutup peluang kehadiran beban tambahan atas daya dukung ekologis yang telah rapuh. Dalam hal ini, beban dimaksud selain tambang juga pabrik. Kehadiran pabrik merupakan perbedaan utama yang menentukan dalam pemberian izin Istindo Mitra Manggarai. Tidak hanya perubahan bentang alam, polusi dan pemanfaatan air menimbulkan beban ekstra pada sistem ekologi karst. Sehingga kemungkinan dampak lintas batas sangat terbuka. Artinya, kerentanan wilayah ini tidak hanya berlangsung pada skala proyek atau izin, tetapi lintas batas. Ketahanan pangan akan ikut terganggu pada sekala lanjutan yang merupakan proyeksi dari dampak jangka panjang ekosistem karst. Disini, mereka yang terkena dampak kemungkinan tidak lagi sekitar kampung tempat pabrik beroperasi, tetapi menyeberang ke wilayah lain. 

Penutup

Flores mengalami krisis ekosistem akibat daya dukung yang berkurang. Krisis tersebut seharusnya terefleksi dalam kebijakan Pemerintah Daerah. Misalnya merestorasi ekosistem yang rusak, melakukan penanaman rutin dengan spesies asli, mengerahkan kegiatan pembangunan yang minim penggunaan air, dan upaya-upaya lingkungan lainnya. Upaya sebaliknya harus diminimalisir agar ekosistem tetap dijaga kelangsungannya ke depan, sehingga kualitas yang sama bisa dinikmati oleh generasi berikutnya di masa depan.

Namun usulan pabrik semen dan tambang batu gamping di Kabupaten Manggarai Timur menunjukan sebaliknya. Di samping mengurangi lahan pertanian, Pemerintah Kabupaten menerima pabrik semen yang sarat dengan konsumsi air, dampak polusi, dan perubahan bentang alam yang mengganggu ekosistem karst. Informasi yang berkaitan dengan hal ini, sayangnya, tidak disediakan dengan cukup. Sebagian besar informasi yang mengalir ke warga atau ke ruang publik adalah manfaat pabrik secara ekonomi. 

Analisis singkat ini menyarankan agar rencana pertambangan tersebut ditinjau kembali dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup Pulau Flores, khsususnya kawasan bentang alam karst yang saat ini sudah menunjukan tanda-tanda rentan. Ke depan, ekosistem yang sama akan menghadapi dampak perubahan iklim. Karena itu, kehadiran pabrik dan tambang, tidak menopang ekosistem tersebut, alih-alih justru merusak dan mengancam masa depan ekosistem regional Flores Barat. 

Bibliografi

A.B. Rodhial Falah, Fredy Chandra, Petrasa Wacana, 2017, Karst Jawa Sebagai Ruang Hidup dan Ancamannya (https://pustaka.caves.or.id/index.php?p=show_detail&id=173&_ga=2.58982123.779541857.1589361974-1273668826.1589361974)

Adeyanju, E., & Okeke, C. A. (2019). Exposure effect to cement dust pollution: a mini review. SN Applied Sciences1(12), 1572.

Anett Keller and Marianne Klute, Dirty Cement: The Case Study of Indonesia (https://th.boell.org/en/2016/12/09/dirty-cement-case-indonesia)

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, Statistik Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur 2017, BPS

Chen, J., Yu, J., Bai, X., Zeng, Y., & Wang, J. (2020). Fragility of karst ecosystem and environment: Long-term evidence from lake sediments. Agriculture, Ecosystems & Environment294, 106862.

Daly, Herman, E., (1987). The economic growth debate: what some economists have learned but many have not. Journal of environmental economics and management14(4), 323-336.

Daly, Herman, E., (1990). Toward some operational principles of sustainable development. Ecological economics2(1), 1-6.

Gunderson, L. H. (2001). Panarchy: understanding transformations in human and natural systems. Island press.

Huang, C. H., & Chang, H. F. (2019). Ownership and environmental pollution: Firm-level evidence in China. Asia Pacific Management Review24(1), 37-43.

Inclusive Development International, (2019), Safeguarding People and the Environment in Chinese Investments: A Reference Guide for Advocates (https://www.inclusivedevelopment.net/idi-releases-revised-edition-of-safeguarding-people-and-the-environment-in-chinese-investments/)

IPCC, 2014: Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer (eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland, 151 pp.

Jocelyn Timperley, Q&A: Why cement emissions matter for climate change, Carbon Brief 13 September 2018, (https://www.carbonbrief.org/qa-why-cement-emissions-matter-for-climate-change)

John Lewar, 2019, Tiga Kampung di Manggarai Timur, NTT, Dilanda Krisis Air Terparah(https://mediaindonesia.com/read/detail/263554-tiga-kampung-di-manggarai-timur-ntt-dilanda-krisis-air-terparah, Sabtu 05 Oktober 2019)

Kemen G Austin et al 2019, “What Causes Deforestation in Indonesia”, Environ. Res. Lett. 14 024007

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Wilayah Ekoregion Indonesia (http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-cetak/59-peta-cetak/328-peta-ekoregion-indonesia)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Penutupan Lahan Indonesia, (http://webgis.menlhk.go.id:8080/pl/pl.htm)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Deforestasi Tahun Periode 2016-2017 (http://webgis.menlhk.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-cetak/59-peta-cetak/327-peta-deforestasi-tahun-periode-2016-2017

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Interaktif (http://webgis.menlhk.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-interaktif)

Lehne, J., & Preston, F. (2018). Making concrete change: Innovation in low-carbon cement and concrete. Chatham House Report, Energy Enivronment and Resources Department: London, UK, 1-66.

Lucy Rodgers, Climate change: The massive CO2 emitter you may not know about, BBC News 17 Desember 2018, (https://www.bbc.com/news/science-environment-46455844)

Satar, Musnanda, 2017, Ancaman Kerusakan Lingkungan Ekosistem Karst di Kalimantan Timur, (https://musnanda.com/2017/01/18/ancaman-kerusakan-lingkungan-ekosistem-karst-di-kalimantan-timur/)

Nur, R. R., Hartanti, F. D., & Sutikno, J. P. (2016). Studi Awal Desain Pabrik Semen Portland dengan Waste Paper Sludge Ash Sebagai Bahan Baku Alternatif. Jurnal Teknik ITS4(2), F164-F168.

Pujiono, E. (2015). Penilaian tingkat kerentanan sumber daya air terhadap variabilitas iklim di das Aesesa, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan12(3), 29136.

Renne R.A. Kawilarang, Petani di Manggarai NTT Menjerit, Kekeringan Parah Bikin Gagal Panen (https://www.vivanews.com/berita/nasional/5710-petani-di-manggarai-ntt-menjerit-kekeringan-parah-bikin-gagal-panen?medium=autonext, 6 Septembe 2019)

Schneider, M., Romer, M., Tschudin, M., & Bolio, H. (2011). Sustainable cement production—present and future. Cement and concrete research41(7), 642-650.

Schroth, G., Läderach, P., Cuero, D. S. B., Neilson, J., & Bunn, C. (2015). Winner or loser of climate change? A modeling study of current and future climatic suitability of Arabica coffee in Indonesia. Regional Environmental Change15(7), 1473-1482.

Shen, W., Liu, Y., Yan, B., Wang, J., He, P., Zhou, C., … & Ding, Q. (2017). Cement industry of China: driving force, environment impact and sustainable development. Renewable and sustainable energy Reviews75, 618-628.

Syakir, M., & Surmaini, E. (2017). Perubahan Iklim Dalam Konteks Sistem Produksi Dan Pengembangan Kopi Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian36(2), 77-90.

Wu, L., Wang, S., Bai, X., Tian, Y., Luo, G., Wang, J., … & Hu, Z. (2020). Climate change weakens the positive effect of human activities on karst vegetation productivity restoration in southern China. Ecological Indicators115, 106392.

Zhao, S., Pereira, P., Wu, X., Zhou, J., Cao, J., & Zhang, W. (2020). Global karst vegetation regime and its response to climate change and human activities. Ecological Indicators113, 106208.



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter