Administrasi Desa Mau Dibawa Kemana

Sumber: kanaldesa.com

Sejak lama sistem birokrasi Indonesia telah membayangkan administrasi desa sebagai garda terdepan untuk menghubungkan pemerintah dengan warga/komunitas. Termasuk di dalamnya adalah mendapatkan data perkembangan faktual transaksi tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Harapan tersebut bisa dilacak dalam berbagai kebijakan. Yang paling gamblang adalah buku induk administrasi desa yang telah dirancang sejak era kolonial. Hingga kini, Kementerian Dalam Negeri tetap melanjutkan konsep administrasi induk itu dimana desa ditempatkan sebagai unit yang paling awal dan paling cepat mengetahui perkembangan situasi warga. Desa bisa disebut sebagai unit reaksi cepat administrasi warga.

Ekspektasi ini masuk akal dari berbagai dimensi. Pertama-tama tentu saja geografis. Saat ini terdapat lebih dari 70. 000 desa di Indonesia. Dalam satu kabupaten bisa terdapat ratusan desa. Jarak yang jauh tidak memungkinkan bagi kabupaten untuk memantau perkembangan administrasi warga termasuk transaksi jual beli tanah, aset, dan seterusnya tiap hari. Karena itu, administrasi desalah yang paling memungkinkan. Kedua, alasan efisiensi sudah pasti. Hemat biaya, hemat tenaga dan waktu. Keempat, alasan sosio-kultural. Desa lebih paham tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan yang menyertai proses transaksi aset terutama tanah yang memerlukan peran Pemerintah. Tidak mungkin berharap aparat BPN yang seringkali mutasi dari daerah lain untuk segera paham konteks dan dinamika tradisi di suatu kampung terkait tanah. Kelima, alasan psikososial. Orang kampung tentu lebih mudah bicara dengan aparat desa mereka daripada dengan orang kabupaten. Meski asumsi ini bisa saja keliru, tapi dalam banyak kasus kekerabatan di tingkat desa memungkinkan komunikasi antarorang per orang lebih cair. 

Asumsi bahwa desa merupakan unit yang siap sedia dalam menyediakan data mutakhir juga diakui UU Desa 2014. Pasal 86 menyebutkan sistem informasi Desa meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. 

Sementara pada peraturan lain seperti PP OSS, Perpres e-government, dan kecenderungan umum layanan administrasi mengerahkan sistem pemerintahan yang berplatform digital. Layanan administrasi program dan kegiatan pusat, provinsi, dan kabupaten mengharapkan peran desa. Informasi kependudukan, desa. Informasi sosial budaya, Desa. Dalam konteks sumber daya alam, izin lokasi mengharapkan peran desa, tata batas kawasan hutan menuntut partisipasi desa. Komunikasi calon investor dan masyarakat, membutuhkan legitimasidesa. Tanpa desa, warga akan berhadapan langsung dengan pihak luar yang dapat berisiko buruk. Misalnya, warga bisa dimanipulasi, diiming-imingi, dan seterusnya. Tentu saja, aparat desa juga bisa korup dan kolusif. Tetapi setidaknya desa adalah wajah mini negara yang dapat diraih warga manakala berhadapan dengan kebutuhan sehari-hari.

Tetapi bagaimana sistem birokrasi desa mengantisipasi semua tanggung jawab itu? Bagaimana dana desa yang 1 Milyar itu bisa membantu mengefektifkan fungsi-fungsi yang ada pada tingkat desa sehingga publik bisa melihat secara mudah dan cepat perkembangan hari ini dan kini dari negara ini di pelosok-pelosok terjauh secara nyata.

Sistem itu sayangnya belum dikembangkan saat ini. Dana Desa lebih banyak disuguhkan untuk infrastruktur. Kalaupun ada alokasinya, pertanyaannya adalah bagaimana memulainya. Dan dimulai dari hal apa? Kenapa hal itu menarik? 

Diperlukan analisa yang dalam sekaligus praktikal agar desa bisa memulai. Menurut hemat saya, pencatatan tanah adalah administrasi yang harus segera dilakukan. Transaksi tanah tanpa kehadiran negara sangat berisiko di kemudian hari, terutama jika transaksi tersebut menimbulkan masalah hukum. Ketika pemerintah desa hadir, sekurang-kurangnya dengan administrasi yang jelas, ada bukti yang bisa disediakan untuk melacak sejarah tanah, berikut transaksinya. Itu merupakan kondisi yang cukup untuk warga mendapatkan dukungan administratif. Kondisi yang cukup itu pula yang menunjukkan bahwa negara hadir bagi warga dalam urusan tanah.



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter