
Sungai di Manggarai Flores | Dok pribadi
Penduduk Indonesia generasi pra-90an yang pernah merasakan kelimpahan kekayaan alam di darat dan sungai. Hingga 1990an, tidak sulit mencari ikan di sungai atau binatang buruan di darat. Mudah mendengar aneka suara burung di pagi hari atau beragam suara kodok dan jangkrik di malam hari. Sayangnya, kelimpahan itu sudah makin sulit dijumpai.
Elizabeth Kolbert (2014) dalam bukunya The Sixth Extinction (Pemunahan keenam) meratap pilu kehilangan keanekaragaman hayati dewasa ini yang secara dominan dipicu oleh ulah manusia. Menurut Kolbert, di pengujung abad ini dunia akan kehilangan 20-50 % dari flora dan fauna yang pernah ada. Studi senada diungkapkan oleh oleh Gerardo Ceballos, Paul Ehrlich, dan Rodolfo Dirzo (2017). Dari pemodelan mereka ditemukan bahwa dalam periode 1900-2015, dunia kehilangan 32 % dari 27.600 spesies vertebrata atau 8.851 spesies.
Bagi generasi pra-90an, sungai kehilangan ikan, udang, belut, dan kekayaan alam lainnya barangkali tidak pernah dibayangkan duga puluhan tahun silam. Tetapi dari laporan $ Mongabay 2021$ , diindikasikan bahwa kemewahan masa kecil tersebut akan segera berakhir. Mungkin sebagiannya sudah berakhir. Generasi yang pernah mengalami panenan ikan di sungai, berburu udang di sela batuan, dan kemurahan alam lainnya hanya tinggal kenangan.
Pada 2021, publikasi ilmiah $ Risk of Pesticide Pollution at the Global Scale$ dari sejumlah peneliti Universitas Sydnedy Australia (Fiona H.M. Tang) menegaskan kembali keprihatinan bersama akan pencemaran tanah pertanian yang terus meningkat. Para peneliti memetakan risiko polusi global yang disebabkan oleh 92 bahan kimia yang biasa digunakan dalam pestisida pertanian di 168 negara. Hasilnya adalah 64 % lahan subur di dunia berisiko tercemar pestisida. Diungkapkan pula bahwa Asia memiliki wilayah daratan terbesar dengan risiko polusi tinggi. Sebagian besar wilayah yang tercemar adalah dapur utama warga planet ini; tempat bersumbernya pangan bagi mayoritas penduduk bumi.
Lebih lanjut, studi itu memproyeksikan bahwa penggunaan pestisida global akan meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi global menuju 8.5 miliar pada tahun 2030. Selain itu, pestisida adalah andalan praktis untuk mengatasi berkembangnya invasi hama akibat gangguan iklim. Seiring dengan makin kompleksnya dampak perubahan iklim pada ekosistem mikro, ke depan pestisida dan pupuk akan makin menumpuk dalam mata rantai produksi pertanian global.
Tentu ongkos lingkungan dari persoalan ini sudah bisa dibayangkan. Pestisida dan pupuk hanya terurai secara kasat mata. Namun senyawanya tetap melekat pada $ siklus biogeokimia$ yang terus bergulir dalam sistem planet kita. Senyawa itu dapat diangkut oleh air permukaan dan air tanah melalui limpasan dan infiltrasi, mencemari badan air, sehingga mengurangi kegunaan sumber daya air, memusnahkan keanekaragaman hayati, menggoyahkan ekosistem, dan menurunkan kualitas sumber air yang diandalkan manusia dan hewan untuk bertahan hidup.
Karena itu, para peneliti menyimpulkan bahwa meskipun melindungi produksi pangan adalah penting untuk manusia, mengurangi polusi pestisida sama pentingnya untuk melindungi keanekaragaman hayati yang menjaga kesehatan dan fungsi tanah serta berkontribusi terhadap ketahanan pangan.
Studi pencemaran global bukan baru. Sejak 1970an, masalah serupa telah diangkat oleh banyak ilmuwan lain yang melahirkan sejumlah kesepakatan global. Misalnya, $ Konvensi Rotterdam$ yang mengatur Prosedur Persetujuan yang Diinformasikan Sebelumnya (Prior Informed Consent) untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional. Kesepakatan internasional ini mempromosikan tanggung jawab semua negara dalam hal impor bahan kimia berbahaya. Meski demikian, persoalan serupa terus berlanjut dengan tingkat yang lebih kompleks dan rumit.
Beberapa tahun ini, studi-studi serupa makin mengemuka sebagai respons dunia akademik terhadap krisis lingkungan global. Misalnya, $ Dashuan Tian dan Shuli Niau$ dari CAS (Chinese Academy of Science) pada 2015 mengemukakan bahwa secara global injeksi pupuk pada pertanian mengurangi pH tanah sebesar 0.26. Dari analisis mereka terhadap 106 kajian mengenai pencemaran tanah secara global, tipe tanah padang rumput adalah wilayah yang sangat sensitif terhadap pengurangan keasaman tanah. Studi ini merupakan alaram untuk daerah padang rumput yang selama ini hidup dari peternakan. Tanpa keasaman yang cukup, rumput tidak akan tumbuh, sehingga daerah-daerah itu lambat laun kehilangan daya dukungnya untuk sistem peternakan. Informasi itu merupakan peringatan bencana bagi daerah-daerah semi kering berpadang rumput seperti wilayah Nusa Tenggara yang selama ini telah dikenal sebagai daerah peternakan.
Studi lain di Brazil yang dilakukan oleh $ Andre M. Mazzetto$ dkk pada 2020 dan dipublikasikan oleh Jurnal Atmospheric Environment menginformasikan bahwa selain menimbulkan pencemaran air dan masalah pada keasaman tanah, penggunaan pupuk bersenyawa Nitrogen juga meningkatkan emisi GRK ($ Gas Rumah Kaca$ )). Menurut para peneliti, faktor emisi dari sektor pertanian akibat penggunaan pupuk Nitrogen lebih tinggi dari yang umumnya diakui dalam perhitungan faktor emisi global yang ditetapkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) selama ini. IPCCmengemukakan bahwa N2O berkontribusi 1 % dan NH3 menyumbang 11 % terhadap emisi dari sektor pertanian. Namun Mazzetto dkk mengoreksi standar itu, bahwa dua senyawa itu masing-masingnya berkontribusi sebesar 1.12 dan 19 % secara global. Koreksi tersebut menunjukkan peningkatan sekaligus menginformasikan bahwa akibat senyawa ini terhadap perubahan iklim pada kenyataannya jauh lebih besar dari yang disadari selama ini. Bagi Indonesia, studi ini mengindikasikan kemungkinan GRK yang lebih tinggi ke depan karena pembangunan pertanian Indonesia menunjukkan trend yang terus meningkat. Upaya itu tentu ditopang oleh peningkatan volume penggunaan pupuk.
Bermula dari Revolusi Hijau
Dampak penggunaan pestisida sebetulnya tidak terjadi baru-baru ini. Beberapa dekade silam ketika $ Revolusi Hijau $ digalakkan, program ketahanan pangan digerakkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida secara masif. Dalam kurun waktu yang panjang, instrusi senyawa asing pada lahan pertanian sudah menghujamkan akibatnya pada ketahanan ekosistem dan akhirnya berisiko pada manusia di hampir semua aspek.
Memori orang-orang tua di Jawa masih mengingat bahwa sebelum tahun 1970an (pra-revolusi hijau), sawah bukan hanya tempat menanam padi. Hamparan petak sawah juga merupakan tempat tersedianya stok nutrisi gratis buat petani. Masa itu, ikan masih melimpah di sungai dan sawah. Ketika petani menyiangi rumput saat padi sedang bunting, warga masih menangkap ikan dan belut yang melimpah. Suplai nutrisi petani diperoleh seketika itu juga, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan di pasar. Hidup serba gratis mengandalkan kemurahan alam.
Pengalaman yang sama dapat ditemukan di daerah lain. Di Flores, misalnya, sebelum 1990an (pra-intensifnya pestisida), ikan di sungai masih melimpah. Warga mengetahui lokasi tempat hidup alamiah dari belut-belut sungai. Pada musim tertentu mereka memanen belut, udang, ikan di lokasi-lokasi itu. Ketika sungai deras pada musim hujan, anak-anak di kampung-kampung hanya menunggu udang naik ke bebatuan untuk diambil. Momen seperti itu, di samping mendapatkan lauk gratis, juga merupakan rekreasi bagi orang di kampung.
Sekarang ini, itu semua serba beli. Ongkos hidup di kota dan desa kurang lebih mirip. Seperti halnya orang kota, orang di kampung membeli lauk pauk, minyak, peralatan otomotif, bahkan beras dan sayur. Tidak ada lagi kemewahan mendapatkan sumber-sumber alam yang gratis.
Pengenalan senyawa kimia secara masif pada pertanian dimulai era 1960an. Orang-orang tua di Jawa yang saya jumpai menuturkan bahwa pada tahun 1965-1966 hama tikus dan wereng (hama yang makan bonggol padi) merajalela. Petani bekerja sama secara gotong royong membasmi tikus. Selain cara manual, pemerintah memperkenalkan teknologi yang lebih instan: kimiawi. Ketika itu, obat $ endrin$ yang sudah dilarang penggunaannya saat ini, diaplikasikan di berbagai daerah. Dampak intervensi kimiawi itu tidak hanya membunuh tikus dan wereng. Hampir semua hewan di air dan sawah ikut terbasmi. Ketika itulah, populasi ikan, udang, belut di sungai terus merosot drastis. Kemewahan alam yang pernah ada ikut larut bersama pestisida dan pupuk yang makin rupa macam produknya.
Target swasembada beras dan suplai makanan orang kota yang digemakan revolusi hijau, membuat teknologi makin merajalela. Selain berdampak ekologis, teknologi juga bikin pertanian yang tadinya kolektif menjadi individualis. Jika sebelumnya, gotong royong menandai pengelolaan sawah dan kebun. Dengan teknologi, masing-masing rumah tangga bekerja sendiri. Apalagi, perkenalan jenis benih baru yang bersiklus pendek (3-4 bulan) memaksa petani menggenjot produksi makin intensif. Ajang berkumpul makin sulit. Solidaritas yang melekat dalam gotong royong menjalankan pekerjaan di tingkat desa lambat laun meleleh.
Teknologi dan inovasi adalah pilihan yang sudah tentu satu paket dengan ongkosnya. Selain biaya produksi membengkak, dampak lingkungannya berdampak panjang. Produk teknologi dan inovasi itu pula yang jadi biang lenyapnya ikan, udang, dan hasil ikutan lainnya dalam proses produksi padi. Dunia yang dulu penuh warna dengan rupa-rupa spesies, kini sepi hanya meninggalkan kita sendiri.
Aksi Individual
Pilihan generasi saat ini untuk mencegah kerusakan berlanjut cukup banyak. Namun cukup banyak pula usaha sistemikyang mendorong aksi kolektif-politik gagal. Dunia menunggu tindakan kolektif ekologis sejak 1970an. Hingga kini, tindakan itu lebih banyak menjadi komitmen yang menguap di panggung politik daripada aksi nyata yang sungguh-sungguh. Mengubah sistem lebih rumit karena tidak seperti menjentikkan jari.
Alternatif lainnya adalah melalui tindakan individual yang berada dalam kendali masing-masing indvidu. Mengendalikan konsumsi rumah tangga adalah salah satunya. Banyak studi ilmiah seperti $ autophagy$ mengkonfirmasi bahwa mengurangi konsumsi makan mempunyai efek domino yang menyehatkan bagi tubuh. Puasa dapat juga mengurangi tekanan terhadap lahan, penggunaan plastik, dan pada akhirnya mengurangi jejak karbon individu.
Laporan $ UNEP 2022 $ menyebutkan bahwa emisi dari rantai pasok hingga sampah makanan berkontribusi pada 10 % emisi global yang mengakibatkan perubahan iklim. Dalam $ perhitungan EPA$ , emisi makanan di Amerika saja setara dengan emisi dari 42 pembangkit tenaga batu bara.
Sampah dari makanan tidak dapat dihentikan jika tidak disertai pengendalian konsumsi. Namun mengendalikan konsumsi makanan hanya mungkin efektif jika itu dilakukan sebagai ekspresi komitmen individual. Misalnya, sulit menahan sejumlah besar orang untuk tidak mengkonsumsi daging sapi yang tinggi emisi. Tindakan semacam itu dapat dimulai dari kemauan individu. Melalui pilihan individual itulah, setiap orang dapat berbagi tanggung jawab pribadi atas kelangsungan dunia ini.
Barangkali agregasi tindakan individual itu dapat terakumulasi menjadi capaian kolektif yang mencegah kiamat sungai, danau, laut dan ekosistem lainnya. Kita berlomba dengan waktu sebelum semua sumber daya itu lenyap selamanya. Dalam perlombaan dengan waktu itu pula, mungkin masih ada asa dari perjuangan kebijakan maupun teknologi berkelanjutan untuk membuat sungai dan danau kembali bernyanyi dengan riap makhluk air. Namun, sebelum itu terjadi, sudah saatnya masing-masing individu mengurangi jatah konsumsinya yang berakibat pada pengerukan bumi.