Budaya hukum atau hukuman budaya

Tunggang langgangnya aturan, kepastian hukum yang tercecer berserakan demikian hiruk pikuk di ruang publik. Para pemikir hukum menyuarakan untuk mengembalikan budaya hukum. Saya justru melihat sebaliknya. Semua tindakan barbar di ruang publik itu adalah buah dari hukuman budaya.

Kita telah lama menganggap beberapa nilai dan perilaku sebagai kebudayaan kolektif negeri ini. Misalnya, kesantuan dan kesopanan telah menjadi standar yang sering digunakan sebagai ukuran budaya. Penggunannya demikian eksesif sehingga kejahatan yang demikian terang benderang pun tetap tabu untuk dikeroyok dengan kritik terbuka. Sebagian besar orang sulit menyadari perbedaan nilai sosial ini ketika masuk dalam ruang publik, terutama hukum. Lebih sering terjadi bukan hukum yang menaklukkan kesantunan tetapi sebaliknya. Hukum dibuat sopan kalau penjahatnya pejabat tinggi, politisi beken, dan figur-figur yang secara sosial dianggap subyek kesantunan, cium tangan, dan sebabainya.

Beda dengan budaya hukum. Tidak perlu kesopanan. Menerapkan pasal, aturan, dan parameter yang melekat di dalamnya tidak perlu cium tangan, bahasa halus, dan sejenisnya. Aturan ya aturan. Tetapi hukum di Indonesia adalah korban budaya. Banyak hiruk pikuk terjadi karena budaya kesantunan memenjarakan pasal-pasal hukum yang gamblang menjadi lumer dan luluh.



I believe we can’t keep fighting for collective action if we don’t start it ourselves. For me, fighting for a sustainable environment begins with something small: eating proportionately. I think about how, throughout human history, the stomach has often been the beginning of all greed. How can we truly talk about controlling global consumption if we can’t even control our own desire to eat everything?

That’s why I’m committing to practicing autophagy daily, limiting my consumption of imported foods, and prioritizing buying local food directly from farmers.

Newsletter