Tunggang langgangnya aturan, kepastian hukum yang tercecer berserakan demikian hiruk pikuk di ruang publik. Para pemikir hukum menyuarakan untuk mengembalikan budaya hukum. Saya justru melihat sebaliknya. Semua tindakan barbar di ruang publik itu adalah buah dari hukuman budaya.
Kita telah lama menganggap beberapa nilai dan perilaku sebagai kebudayaan kolektif negeri ini. Misalnya, kesantuan dan kesopanan telah menjadi standar yang sering digunakan sebagai ukuran budaya. Penggunannya demikian eksesif sehingga kejahatan yang demikian terang benderang pun tetap tabu untuk dikeroyok dengan kritik terbuka. Sebagian besar orang sulit menyadari perbedaan nilai sosial ini ketika masuk dalam ruang publik, terutama hukum. Lebih sering terjadi bukan hukum yang menaklukkan kesantunan tetapi sebaliknya. Hukum dibuat sopan kalau penjahatnya pejabat tinggi, politisi beken, dan figur-figur yang secara sosial dianggap subyek kesantunan, cium tangan, dan sebabainya.
Beda dengan budaya hukum. Tidak perlu kesopanan. Menerapkan pasal, aturan, dan parameter yang melekat di dalamnya tidak perlu cium tangan, bahasa halus, dan sejenisnya. Aturan ya aturan. Tetapi hukum di Indonesia adalah korban budaya. Banyak hiruk pikuk terjadi karena budaya kesantunan memenjarakan pasal-pasal hukum yang gamblang menjadi lumer dan luluh.